Jakarta, CNN Indonesia -- Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menyatakan Indonesia punya peluang memanfaatkan jumlah populasi produktif yang melimpah, atau kerap disebut bonus demografi pada 2034. Bahkan, Indonesia dinilai bisa mengalami dua periode bonus demografi.
Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengatakan, pada 2034, kelompok usia produktif akan mengambil 60 persen dari populasi dan bisa berkontribusi sebesar 0,22 persen poin terhadap pertumbuhan ekonomi.
Bahkan, sokongan bonus demografi ditambah pertumbuhan ekonomi minimal 5 persen per tahun bisa membuat Indonesia menjadi negara berpendapatan maju di tahun 2038. Bappenas menilai masa bonus demografi ini bisa diperpanjang asal jumlah usia produktif semakin banyak.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sayangnya, beberapa tahun mendatang, pertumbuhan populasi mungkin akan melambat, di mana ini tercermin dalam proyeksi rasio Total Fertility Rate (TFR).
Menurut proyeksi Bappenas, angka TFR di tahun 2045 nanti akan ada di angka 2,1 atau lebih rendah dibanding tahun 2015 yang hanya 2,38. Artinya, jumlah rata-rata anak yang akan dilahirkan oleh seorang perempuan pada akhir masa reproduksinya sebanyak 2,1 anak dalam 27 tahun mendatang, atau lebih sedikit dibanding saat ini.
"Makanya kalau TFR bisa di-maintain saja di angka 2,1, Indonesia bisa menuju bonus demografi kedua," ungkap Bambang di Gedung Badan Pusat Statistik, Rabu (14/2).
Maka dari itu, Indonesia harus bisa memproduksi penduduk usia produktif melalui kebijakan menjaga TFR. Salah satunya adalah perencanaan keluarga (
family planning) di bawah koordinasi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional.
Menurutnya, saat ini BKKBN harus mengubah kampanyenya dari 'Dua Anak Cukup' menjadi 'Dua Anak Ideal'. Jika satu keluarga hanya memiliki anak atau tidak sama sekali, maka TFR akan turun. Namun sebaliknya, jika keluarga memiliki dua anak saja, maka TFR bisa meningkat.
"Jika satu keluarga tidak didorong memiliki dua anak, maka yang terjadi nantinya adalah populasi menua (
aging population). Artinya, nanti beban tanggungan usia produktif terhadap populasi tua bisa semakin besar," papar dia.
Ia melanjutkan, banyaknya
aging population bisa mengarah pada pertumbuhan ekonomi yang tidak prima. Dalam hal ini ia mencontohkan Jepang, di mana populasi tua semakin meningkat menyebabkan pertumbuhan ekonominya semakin kecil. Begtu pula dengan perlambatan ekonomi yang tengah melanda China saat ini.
"Negara seperti Jepang, penduduknya memutuskan untuk tidak menikah dan ini mempercept Jepang aging population. Ujungnya membuat ekonomi Jepang tak mungkin berkembang. Kalau Indonesia pertumbuhan ekonomi 5 persen saja sudah diprotes, di sana pertumbuhan ekonomi 1 persen saja sudah bersyukur," lanjut Bambang.
Seharusnya, lanjut Bambang, Indonesia bisa memproduksi masyarakat produktif dengan mudah mengingat Indonesia selalu dipuji atas
family planning yang paling mumpuni di seluruh dunia. Ia mencontohkan program Keluarga Berencana yang diinisasi tahun 1971 berhasil menurunkan TFR dari 5,6 menjadi 2,28 hingga 2015 silam.
Selain itu, ia pun tidak menyarankan pemberian insentif fiskal bagi keluarga yang berhasil melahirkan dua anak karena itu tidak akan efektif. Melihat kasus Singapura dan Rusia, masyarakatnya tak rela jika kelahiran anak disamakan dengan sejumlah uang tertentu.
"Justru Indonesia dalam momentum yang tepat dalam memanfaatkan bonus demografi, sehingga Indonesia lambat laun bisa terlepas dari jebakan negara kelas menengah (
middle income trap)," pungkas dia.
(gir/bir)