Jakarta, CNN Indonesia -- Presiden Joko Widodo kian gemas terhadap kondisi investasi dalam negeri. Ia menganggap, daya tarik investasi Indonesia masih kalah dibanding negara-negara tetangga dan butuh pemantik agar realisasi investasi makin mentereng.
Memang, realisasi investasi Indonesia tahun lalu mencatat pertumbuhan dua digit. Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menunjukkan bahwa realisasi investasi sepanjang 2017 berada di angka Rp692,8 triliun atau naik 13,1 persen dibanding tahun sebelumnya yakni Rp612,8 triliun. Hanya saja, catatan pertumbuhan ini dianggap masih kalah dibanding India yang mencapai 30 persen, bahkan Malaysia sebesar 51 persen.
Jokowi pun berkesimpulan, salah satu langkah yang bisa dilakukan adalah mengguyur insentif fiskal bagi para investor melalui dua kebijakan,
tax allowance dan
tax holiday.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tax allowance sendiri merupakan kebijakan fasilitas pajak yang diberikan dalam bentuk pengurangan penghasilan kena pajak yang dihitung berdasarkan jumlah investasi. Ketentuan ini sebetulnya telah diatur di dalam pasal 31A Undang-Undang (UU) Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.
Aturan ini kemudian diturunkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2015 yang menyebut bahwa perusahaan bisa mendapat pengurangan penghasilan netto sebesar 30 persen dari jumlah penanaman modal berupa harta tetap berwujud termasuk tanah yang digunakan untuk kegiatan utama usaha. Adapun, fasilitas ini diberikan selama enam tahun masing-masing sebesar 5 persen per tahun yang dihitung sejak produksi secara komersial.
Karena dihitung berdasarkan aktiva tetap, maka perhitungan pengurangan pajaknya pun memperhatikan nilai depresiasi atau penurunan nilai manfaat atas harta tetap. Dalam hal ini, pemerintah membolehkan perusahaan untuk mempercepat depresiasinya agar pajak yang dibayarkan bisa semakin kecil.
Berbeda dengan
tax allowance, aturan
tax holiday sendiri berakar dari Undang-Undang (UU) Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Pasal 18 ayat 5 beleid itu menyebutkan, pemerintah bisa memberikan pembebasan atau pengurangan PPh dalam jumlah dan waktu tertentu dan hanya bisa diberikan bagi investasi baru di bidang industri pionir.
Adapun, jenis-jenis industri pionir ini kemudian diatur di dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor Nomor 159 Tahun 2015, di mana hanya ada sembilan sektor yang menerima manfaat
tax holiday. Kesembilan sektor itu, yakni industri logam hulu, pengilangan minyak bumi, industri kimia dasar organik, permesinan, pengolahan berbasis pertanian kehutanan dan perikanan, telekomunikasi, transportasi, industri di Kawasan Ekonomi Khusus, dan infrastruktur yang dikerjakan dengan skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU).
 Sektor pengilangan minyak bumi menjadi salah satu sektor yang berhak memperoleh insentif tax holiday. (ANTARA FOTO/Aguk Sudarmojo) |
Selain itu, investasi yang berhak memperoleh insentif hanya yang nilainya minimal Rp1 triliun dan fasilitas ini bisa dinikmati dalam jangka lima hingga 15 tahun.
Dengan kata lain, dua insentif fiskal ini sebenarnya sudah diatur sekian lama. Namun, Jokowi menilai dua hal tersebut masih memiliki cela lantaran kurang laku di mata investor. Berdasarkan catatan pemerintah, investor yang mengajukan
tax holiday bahkan tak mencapai 15 perusahaan. Makanya, ia segera memerintahkan jajarannya untuk mengevaluasi dua kebijakan fiskal tersebut.
"Laporan yang saya terima, sebetulnya skema insentif untuk
tax holiday dan
tax allowance ini sudah ada. Tapi pemanfaatannya masih sangat rendah, oleh sebab itu perlu dievaluasi," ujar Jokowi.Sebetulnya, peninjauan kembali atas
tax holiday dan
tax allowance ini sudah ada dalam benak Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati. Sejak tahun kemarin, ia telah menduga ada yang tidak beres dengan dua insentif tersebut karena investor tak kunjung memanfaatkannya.
Ia bilang, konsep
tax allowance saat ini mungkin sudah kuno dan tak sesuai perkembangan zaman, mengingat perumusannya dilakukan 10 tahun lalu. Bisa jadi, insentifnya yang tidak menarik atau memang pelaku usaha membutuhkan pemanis lainnya.
Apalagi, skor perpajakan di dalam indeks kemudahan berusaha
(Ease of Doing Business/EoDB) Indonesia juga sangat loyo. Saat ini, peringkat EoDB Indonesia berada di angka 72 dari 190 negara. Namun, indikator
"Paying Taxes", yang merupakan salah satu komponen pembentuk EoDB Indonesia, masih berada di peringkat 114 dari 190 negara.
"Karena tidak ada yang
apply (tax holiday dan tax allowance), jadi kami mau tahu saja. Apa tidak menarik, apa butuh insentif lain? Kami akan lihat apa saja yang bisa
trigger confidence untuk ekspansi," katanya.
Tak berselang lama, akhirnya pemerintah membuat terobosan baru untuk dua fasilitas tersebut. Untuk
tax allowance, rencananya pemerintah akan menambah jumlah sektor penerima dari 145 sektor. Selain itu, pemerintah juga menjamin pengajuan
tax allowance bisa lebih cepat dan sederhana, sesuai keinginan Jokowi. Namun, sampai saat ini, pemerintah masih belum tahu jumlah tambahan sektor yang dimaksud.
"Dari pembahasan rapat telah diputuskan Bapak Presiden, bahwa jumlah kelompok industri penerima tax allowance ini harus diperluas," ungkap dia.
Di sisi
tax holiday, pemerintah rencananya akan menambah satu sektor penerima yakni industri informasi dan teknologi
(Information and Technology/IT) dengan tingkat pengurangan yang sama seperti ketentuan sebelumnya, yakni 10 hingga 100 persen. Namun, jangka waktu
tax holiday yang tadinya lima hingga 15 tahun diharapkan bisa diperpanjang hingga 20 tahun lamanya. Ia pun ingin menjadikan Thailand sebagai tolak ukur.
"Jangka waktu dibuat setara dan dalam hal ini kami
benchmark ke negara-negara tetangga seperti Thailand yang (durasi
tax holiday) sampai 30 tahun," papar dia.
Usulan Sri Mulyani ini nampaknya bisa bikin tidur Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Lembong sedikit nyenyak. Sebab menurutnya,
tax allowance dan
tax holiday adalah insentif yang mampu menggaet investor. Sayangnya, pemicu ini masih belum diperhatikan di Indonesia, sementara negara lain sudah cukup agresif dalam menebar fasilitas fiskal.
Dengan jaminan proses yang lebih mudah, ia yakin dua kebijakan ini akan direspon positif oleh pelaku usaha. "Dan itu nilainya bisa puluhan triliun, investasi di basic industry, baja, dan petrokimia pasti akan merespons dengan baik," papar dia.
Sementara itu, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto nampaknya masih belum puas. Menurut dia, durasi
tax holiday harusnya bisa lebih dari 15 tahun lamanya. Selain itu, masalah penyerapan tenaga kerja juga harusnya menjadi pertimbangan utama dalam memberikan insentif
tax allowance."Sekarang kan
range-nya 10 sampai 100 persen, kami minta waktunya diperpanjang, jangan 15 tahun. Untuk
tax allowance kami tidak ingin berbasis investasi, tetapi juga berbasis lapangan pekerjaan," ungkap dia.
Perubahan ini merupakan langkah baik dari pemerintah untuk menciptakan iklim investasi yang lebih menarik. Namun di sisi lain, ini bisa menimbulkan persepsi bahwa aturan yang dibuat pemerintah tidak memiliki efek jangka panjang. Seperti diketahui, aturan
tax holiday diperbarui dua kali dalam jangka waktu empat tahun. Sementara itu, aturan
tax allowance telah diperbarui tiga kali dalam jangka lima tahun.
Maka dari itu, jika pemerintah ingin mengubah lagi ketentuan dua kebijakan tersebut, maka harus dipastikan bahwa ini bisa menarik dan mengakomodasi investor dalam jangka panjang.
Peneliti Institute for Developtment Economic and Finance (INDEF) Eko Listyanto mengatakan, setidaknya ada dua masalah yang perlu diperhatikan pemerintah dalam merevisi ketentuan libur pajak dan keringanan pajak. Pertama adalah pemilihan sektornya. Menurut Eko, pemerintah harus memberikan insentif pajak kepada sektor yang saat ini tengah berkembang dan memiliki potensi pasar yang besar agar Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia bisa memiliki nilai tambah
(value added) yang berlipat.
Maka dari itu, sebetulnya ia menyambut baik keinginan pemerintah untuk memberikan insentif tax holiday bagi sektor IT, yang saat ini memang tengah digandrungi. Namun, pemerintah juga perlu memastikan bahwa daya beli masyarakat Indonesia bisa ikut membaik. Pasalnya, jika daya beli tak menunjukkan perbaikan, perusahaan juga malas untuk investasi.
"Bahkan, kalau daya belinya bagus, tanpa ada keringanan pajak pun investor pasti akan masuk ke sektor ini. Potensi pasar cukup penting bagi investasi," kata dia.
Sementara itu, persoalan kedua yang perlu dibenahi pemerintah adalah administrasi. Menurut pengamatan yang dilakukan instansinya, sebagian besar perusahaan enggan meminta insentif fiskal lantaran syarat dan birokrasi yang rumit. Bahkan menurutnya, proses untuk memperoleh fasilitas fiskal berpotensi membuka celah bagi praktik menyimpang. Kalau sudah begitu, maka ongkos administrasi pelaku usaha semakin besar.
Selain itu, investor masih harus menanggung biaya kesempatan
(opportunity cost) yang besar dari lambannya realisasi investasi tersebut. Jika investor semakin buntung, maka keringanan pajak justru tak memiliki manfaat.
Sebetulnya, lanjut Eko, berbelitnya administrasi ini bisa saja dibiarkan pemerintah asal besaran insentifnya juga setimpal. "Syarat yang ribet sekali pun tentu akan dijalani investor asal insentifnya besar juga. Tapi persoalan saat ini adalah syarat fasilitas ini sangatlah rigid," papar dia.
Tak berhenti sampai di situ, paket insentif fiskal ini tentu harus dibarengi dengan sikap pemerintah yang tidak ngebet mengejar pajak dari investasi yang sudah ada
(existing). Ini dimaksudkan agar tak muncul persepsi "pilih kasih" dari pemerintah.
Ia berujar, keinginan pemerintah untuk meningkatkan investasi bisa buyar jika investasi baru diberi kemudahan pajak, sementara investasi lama malah dikejar-kejar untuk menyetor penerimaan negara. Maka dari itu, target pajak harus bersifat realistis agar tak ada tekanan bagi pemerintah untuk terus mengejar pelaku usaha.
"Yang penting bagi dunia usaha adalah membangun optimisme. Ini lebih baik ketimbang memberikan insentif pajak, namun ternyata malah getol mengejar pemasukan dari investasi yang sudah
existing," pungkas dia.
(agi)