ANALISIS

Lawan Arus, Rupiah Lunglai Jadi Waktu Tepat Memulai Investasi

Dinda Audriene Muthmainah | CNN Indonesia
Jumat, 02 Mar 2018 18:38 WIB
Kondisi 'Kesehatan' rupiah tiba-tiba terguncang dalam waktu singkat. Tak main-main, rupiah melemah hingga ke level Rp13.748.
Kondisi 'Kesehatan' rupiah tiba-tiba terguncang dalam waktu singkat. Tak main-main, rupiah melemah hingga ke level Rp13.748. (CNN Indonesia/Hesti Rika Pratiwi).
Jakarta, CNN Indonesia -- Kondisi 'Kesehatan' rupiah tiba-tiba terguncang dalam waktu singkat. Tak main-main, rupiah melemah hingga ke level Rp13.748 terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Kamis (1/3).

Petaka bermula dari sentimen kabar bahwa Bank Sentral AS Federal Reserves berencana menaikan suku bunga acuan. Informasi itu disampaikan langsung oleh Gubernur The Fed Jerome Powell dalam pidato pertamanya pada akhir Februari 2018. Nahkoda The Fed yang baru diangkat bulan lalu itu mengatakan terbuka kemungkinan kenaikan suku bunga acuan lebih dari tiga kali sepanjang 2018.

"Dengan suku bunga AS naik, maka imbal hasil dari investasi yang akan diterima oleh para investor itu semakin besar. Jadi mereka kembali ke negaranya," terang analis Ike Widiawati selaku analis Oso Sekuritas, Jumat (4/1).

Para investor yang menanamkan dananya di pasar Indonesia pun tergiur untuk kembali ke pasar raksasa Negeri Paman Sam.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Penarikan dana di bursa saham dan bursa obligasi besar-besaran akhirnya membuat kondisi pasar valuta asing kalang kabut. Isu pelemahan rupiah semakin hangat dibincangkan, terutama terkait nasib dana investasi sekaligus strategi penyelamatan cuannya.

Melihat peluang cuan di depan mata, tentu investor tak tinggal diam dengan mengalihkan investasi mereka ke AS. Terbukti, jumlah dana asing yang keluar dari pasar modal sejak Januari 2018 hingga akhir Februari 2018 mencapai Rp8,56 triliun.

Khusus perdagangan 28 Februari 2018 jumlah dana asing yang keluar sebesar Rp846 miliar. Padahal, pada perdagangan sebelumnya, yakni 27 Februari tercatat investor asing masih beli bersih atau net buy sebesar Rp385,56 miliar.

"Memang tinggi sekali jumlah dana yang sudah keluar jika dibandingkan dengan kondisi tahun lalu yang masih net buy," ucap Ike.

Kendati aliran dana asing diprediksi masih keluar bulan Maret ini, tetapi Ike optimis jumlahnya tidak akan mencapai Rp20 triliun. Hal ini disebabkan investor asing sudah mengantisipasi potensi kenaikan suku bunga The Fed sejak Februari 2018.

"Kemungkinan besar di kisaran Rp10 triliun-Rp15 triliun jika diakumulasi dari awal tahun," kata Ike.

Di sisi lain, analis Semesta Indovest Aditya Perdana Putra menyebut potensi kenaikan suku bunga The Fed pada Maret ini sudah mencapai 83,1 persen. Artinya, peluang The Fed merealisasikan rencana tersebut cukup besar.

"Posisi saat ini berada di level 1,5 persen, potensi kenaikan dengan rentang 150-175 basis poin (bps)," papar Aditya.

Namun, bukan berarti hal itu akan membuat dana asing yang keluar semakin signifikan. Menurutnya, tidak semua investor akan keluar dari pasar modal dengan pertimbangan fundamental ekonomi yang dinilai masih cukup positif dan dapat memberikan keuntungan kepada investor.

"Jadi mungkin net sell Maret sama dengan Februari tahun ini yang kira-kira di sekitar Rp5 triliun-Rp7 triliun lagi. Jadi secara year to date (Ytd) bisa diatas Rp10 triliun," jelas Aditya.

Larinya investor asing dari pasar modal dalam negeri, sambung Aditya, tentu berpengaruh negatif bagi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Ditambah, pelemahan nilai tukar rupiah dan sejumlah bursa saham di regional dan Wall Street.

Beruntung, IHSG kini tak lagi 100 persen bergantung pada investor asing, sehingga pelemahannya tidak begitu dalam. Meski bergerak fluktuatif, tetapi IHSG masih bergerak di sekitar level 6.500-6.600.

"Dulu tahun 2015 dan 2016 pasar modal masih erat dengan investor asing, sekarang investor domestik sudah lebih kuat," ujar Ike.
Data aliran dana di pasar modalData aliran dana di pasar modal (CNN Indonesia/Timothy Loen).

Imbas di Pasar Obligasi

Penurunan nilai tukar rupiah juga menyebabkan investasi obligasi di Indonesia tak menarik lagi bagi investor asing. Pasalnya, mereka bakal merugi karena berinvestasi di obligasi berdenominasi rupiah. Alhasil, investor asing memutuskan untuk menjual obligasinya terlebih dahulu.

"Dengan mayoritas pemegang surat utang negara (SUN) adalah investor asing, akibat dari mereka yang melepas SUN, harga SUN terkoreksi," terang Kepala Divisi Operasional Indonesia Bond Pricing Agency (IBPA) Ifan Mohamad Ihsan.

Berdasarkan catatan IBPA, investor asing tercatat net sell hingga Rp24,26 triliun bila dilihat sejak akhir Januari 2018 sampai akhir Februari 2018. Menurut Ifan, jumlah kepemilikan asing pada akhir Januari 2018 masih sebesar Rp848,76 triliun, sedangkan akhir Februari 2018 hanya Rp824,5 triliun.

Harga obligasi seri FR0063 28 Februari 2018 turun ke 98,5 persen dari perdagangan sebelumnya sebesar 98,98 persen. Penurunan juga terjadi pada seri FR0064 ke 96,49 persen dari hari sebelumnya 97,46 persen, dan seri FR0065 turun ke 96,09 persen dari 97,02 persen.

"Tapi di sisi lain yield obligasi terkerek naik," imbuh Ifan.

Misalnya saja, yield obligasi seri FR0063 pada 28 Februari 2018 naik menjadi 5,96 persen dari perdagangan sebelumnya sebesar 5,85 persen. Kemudian, yield obligasi seri FR0064 tembus 6,6 persen dari sebelumnya 6,46 persen, dan yield dari obligasi seri FR0065 mencapai 7,04 persen dibandingkan sebelumnya sebesar 6,94 persen.

Sayangnya, kenaikan yield tak cukup menarik kembali investor asing. Pasalnya, mereka akan tetap menderita kerugian dari turunnya harga obligasi. Bahkan, koreksi harga obligasi juga merugikan investor dalam negeri.
Data aliran dana di pasar obligasiData aliran dana di pasar obligasi (CNN Indonesia/Timothy Loen).

Hingga saat ini Ifan belum berani berspekulasi waktu tepatnya investor asing kembali masuk untuk membeli obligasi Indonesia. Menurutnya, investor asing akan menunggu nilai tukar rupiah kembali menguat terlebih dahulu.

"Isu kenaikan suku bunga The Fed juga masih menjadi isu utama," jelas Ifan.

Di sisi lain, analis obligasi BNI Sekuritas Ariawan memandang Bank Indonesia (BI) masih akan mempertahankan suku bunga di level 4,25 persen karena tingkat inflasi bulan Februari 2018 masih rendah, yaitu 0,17 persen.

"Pertumbuhan ekonomi juga masih perlu didorong, sehingga BI akan menahan suku bunga," kata Ariawan.

Namun begitu, andai The Fed benar menaikan suku bunganya bulan Maret ini, ia percaya jumlah jual bersih investor asing pada Maret 2018 tidak akan setinggi bulan Februari yang tercatat jual bersih sebesar Rp20 triliun.

"Karena memang mereka (investor asing) sudah price in dulu, sudah sesuai dengan prediksi mereka," jelas Ariawan.

Dengan kondisi seperti ini, tambah Ariawan, seharusnya menjadi kesempatan bagi investor asing untuk masuk ke pasar obligasi Indonesia. Situasi fundamental ekonomi yang masih terlihat cukup positif bakal menjadi pendorong nilai tukar rupiah kembali menguat secara perlahan.

Untuk itu, nilai tukar rupiah tetap memiliki potensi untuk kembali ke Rp13.600 per dolar AS. Sehingga, jika investor asing membeli obligasi rupiah saat ini dengan menukarkan mata uang dolar ke rupiah yang berada di kisaran Rp13.700, maka investor asing juga akan mendapatkan keuntungan dari pertukaran tersebut.

"Jadi double untungnya, yield lagi tinggi kemudian rupiah berpotensi ke Rp13.600 lagi. Kalau investor asing jual obligasinya lalu convert ke dolar AS kan untung juga," tutup Ariawan. (lav/bir)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER