Jakarta, CNN Indonesia -- Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) mendesak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk segera menyempurnakan aturan main bagi perusahaan berbasis keuangan (
financial technology/fintech).
Artinya, ada beberapa hal yang perlu ditambahkan di Peraturan OJK (POJK) Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (
Peer to Peer/P2P Lending) oleh wasit industri jasa keuangan itu.
Wakil Ketua Aftech Adrian Gunadi mengungkapkan, asosiasi mengusulkan beberapa hal yang perlu diatur, yaitu proses perizinan, seleksi manajemen, batas permodalan, batas bunga pinjaman, rasio pembiayaan bermasalah, hingga asuransi penjaminan fintech.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Proses perizinan ini sebenarnya kriterianya sudah ada di POJK 77 melalui ISO27001, tapi bisa disempurnakan sebagai pembatasan atau aturan main antara pemain yang sudah kredibel dan yang istilahnya masih percobaan," ujarnya, Selasa (6/3).
Seleksi manajemen jajaran direksi fintech, lanjutnya, perlu dilihat dengan jelas latar belakang kemampuannya. Bahkan, bukan tidak mungkin apabila OJK ikut melakukan uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) kepada calon jajaran direksi fintech.
"Kalau saya pribadi, seharusnya mungkin (pengalaman) 3-5 tahun. Sebenarnya, negara lain, pengurus P2P Lending itu bahkan perlu fit and proper test dulu," katanya.
Lalu, mengatur batas permodalan. Sebenarnya, saat ini, dalam POJK 77 telah ada ketentuan batas modal sebesar Rp2 miliar. Hanya saja, kata Adrian, perlu diatur batas modal secara tingkatan (tier) layaknya bank dengan ketentuan Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) 1-4.
Hal ini membuat pengawasan dan mitigasi risiko bagi fintech kian ketat. "Tapi, belum bisa berikan usulan berapa angka (batas modal per tingkatan). Karena kami harus melihat dulu standar yang ada di negara lain, termasuk soal komponen pembentuk modal," jelasnya.
Kemudian soal batas bunga pinjaman. Pasalnya, belakangan OJK mengeluhkan bahwa bunga yang diberikan fintech kepada peminjam terlalu tinggi. Padahal, bunga itu terbentuk sesuai dengan tingkat di pasaran dan berdasarkan profil risiko peminjam.
Meski begitu, ia bilang, ada baiknya bunga diatur oleh OJK dengan membuat sebuah rentang
yang tak hanya melihat profil risiko dan bisnis fintech di dalam negeri. Namun, turut melihat standar bunga fintech di negara lain. Adapun saat ini, asosiasi memang tengah mengkaji batas bunga tersebut.
"Kami akan membuat batas bunga berdasarkan subsektor, misalnya batas bunga kredit UMKM itu berapa, lalu ke individu itu berapa," imbuh Adrian.
Selanjutnya, terkait rasio pembiayaan bermasalah. Hal ini dibutuhkan sebagai bentuk pengawasan dari OJK terhadap bisnis fintech. Selayaknya lembaga jasa keuangan yang lain, fintech perlu juga diberi peringatan (warning) agar mampu mengelola pembiayaan bermasalah sebelum melewati batas rasio.
Terakhir, asuransi penjaminan bagi fintech. Adrian bilang, saat ini beberapa fintech telah jalan dengan perusahaan asuransi untuk memitigasi risiko gagalnya pengembalian pinjaman.
Namun, hal ini dirasa perlu dipertegas dalam aturan main OJK. Pasalnya, kerja sama dengan asuransi dinilai bisa menambah daya perlindungan terhadap konsumen dan fintech itu sendiri.
(bir)