Jakarta, CNN Indonesia -- Bank Indonesia (BI) melakukan intervensi untuk menstabilkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dengan melepas cadangan devisa. Intervensi tersebut diklaim mengedepankan prinsip kehati-hatian dan konsistensi demi menjaga gerak rupiah.
Kendati demikian, BI tidak merinci nilai cadev yang digelontorkan ke pasar. Berdasarkan data BI, cadev menyusut sekitar US$3,92 miliar atau menjadi US$128,06 miliar hingga akhir Februari ini. Pun demikian, rupiah masih betah di kisaran Rp13.760 per dolar AS.
"Hal ini agar tetap sejalan dengan kondisi fundamental makro ekonomi domestik, dengan juga memperhatikan dinamika pergerakan mata uang negara lain," ujar Gubernur BI Agus Martowardojo, mengutip keterangan resminya, Rabu (7/3) malam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lebih lanjut ia menyebut, sebetulnya, dampak kebijakan moneter global, terutama dari AS, tak hanya menghantam rupiah, tetapi juga sejumlah mata uang negara lain di dunia. Untuk itu, daya pemulihan rupiah harus menyesuaikan pemulihan mata uang di negara lain.
Namun, ia menegaskan bahwa bank sentral tetap akan menjalankan fungsinya untuk menjaga stabilisasi kurs rupiah. "BI akan tetap berada di pasar secara terukur untuk mengawal terciptanya stabilitas rupiah. Agar kepastian dan keyakinan masyarakat terhadap perekonomian nasional tetap terjaga dengan baik," katanya.
Kepala Ekonom Samuel Asset Management Lana Soelistianingsih bilang BI bisa menggunakan cadev lebih banyak untuk menstabilkan rupiah. Toh, salah satu fungsi cadev memang untuk stabilisasi rupiah, sehingga tak melulu harus mempertahankan nilai cadev pada tingkat yang tinggi.
"Jadi, tidak apa cadev (turun) hingga ke kisaran US$120 miliar, karena fungsinya untuk stabilisasi. Buat apa cadev US$131 miliar, tapi rupiahnya malah sampai Rp15 ribu per dolar AS," imbuhnya kepada
CNNIndonesia.com, Kamis (8/3).
Hanya saja, ada faktor lain yang perlu diperhatikan, yaitu menggunakan cadev pada momentum yang tepat. Menurutnya, dengan mempertimbangan faktor ini, langkah BI untuk tidak mengalirkan cadev secara 'jor-joran' pada beberapa hari lalu saat rupiah terpuruk cukup tepat.
Pasalnya, ketika rupiah tengah bergejolak hebat karena mendapat tekanan dari dolar AS, BI perlu menunggu pasar agar lebih tenang, baru melakukan intervensi. Hal ini agar intervensi tidak sia-sia lantaran pasar langsung menyedot aliran cadev tersebut.
"Jadi, harus tunggu agak tenang. Karena melakukan intervensi saat pasar bergejolak itu tidak pas. Ibaratnya menyiram laut dengan air garam. Nanti akhirnya sia-sia," terang dia.
Selain itu, sambung Lana, porsi intervensi BI cukup tepat lantaran bank sentral sebelumnya juga telah mengeluarkan aturan lindung nilai (hedging) atas aset valuta asing bagi utang luar negeri (ULN) korporasi.
"Hedging ini semacam asuransi bagi pergerakan nilai tukar rupiah. Jadi, pelaku usaha tidak perlu khawatir karena dia punya hedging. Sehingga, demand (kebutuhan) dari dolar itu tidak besar," jelasnya.
Kebutuhan dolar yang tak besar juga terjaga lantaran BI menerapkan aturan bahwa mata uang yang digunakan untuk pembayaran dalam negeri adalah rupiah. Artinya, ketergantungan terhadap dolar bisa diminimalisir.
Ke depan, intervensi lanjutan dari BI untuk menjaga nilai tukar rupiah masih perlu melihat momentum yang ada. Misalnya, rencana kenaikan suku bunga bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed).
Hal ini lantaran Gubernur The Fed yang baru, Jerome Powell masih belum bisa dibaca oleh pasar, apakah akan lebih agresif atau malah lebih perlahan dalam mengambil keputusan, seperti pendahulunya, Janet Yellen.
Kebijakan moneter dari The Fed dipastikan akan memengaruhi kekuataan dolar AS terhadap mata uang negara lain di dunia. Bila kebijakannya membuat dolar AS menguat, tentu rupiah berpotensi melemah.
Momentum lain, dengan mempertimbangkan masa pembayaran dividen korporasi ke luar negeri. Namun, Lana memperkirakan volume pembayaran dividen itu baru besar pada Juni mendatang. Artinya, tidak dalam waktu dekat.
Lalu, intervensi BI perlu pula melihat kebutuhan dolar AS untuk pembayaran aktivitas ekspor dan impor korporasi.
"Yang perlu dilihat adalah permintaan dolar oleh korporasi besar, seperti Pertamina dan PLN. Kalau mereka bisa ditahan dulu agar jangan impor, itu mungkin bisa lumayan. Jadi, harus diatur timing (waktu) konsumsi dolar dari perusahaan-perusahaan," tekannya.
Sementara, untuk aktivitas ekspor dianggap tidak akan banyak membutuhkan dolar AS. Hal ini karena ekspor Indonesia dominan pada komoditas. Sedangkan, negara tujuan ekspor komoditas, yaitu China, masih menikmati masa libur tahun baru.
"China itu aktivitas industrinya belum kembali kencang karena mereka habis libur tahun baru atau imlek. Biasanya setelah imlek belum kencang, sama seperti Indonesia kalau setelah Idul Fitri biasanya agak lambat," paparnya.
Secara keseluruhan, Lana memproyeksi rupiah masih akan bergerak di kisaran Rp13.700 per dolar AS. Rupiah tak akan lebih terpuruk bila BI tetap berada di pasar.
Kepala Ekonom Standard Chartered Bank Indonesia Aldian Taloputra melihat intervensi yang telah dilakukan BI sudah cukup terlihat, meski pergerakan rupiah masih di kisaran Rp13.760 per dolar AS.
Namun, ia melihat, pergerakan rupiah sudah mulai sejalan dengan pergerakan beberapa mata uang negara lain yang cenderung berhubungan dengan Indonesia untuk aktivitas perdagangan (
basket of currencies).
"Karena kalau dilihat, pergerakan rupiah sejak awal Maret ini sudah mulai sejalan dengan pergerakan mata uang di kawasan regional. Sehingga, kembali bergerak sesuai dengan
basket of currencies," ucap Aldian.
Ke depan, ia melihat, BI masih berpotensi untuk melakukan intervensi terhadap rupiah. Hal ini tercermin dari pernyataan Agus bahwa BI masih akan berada di pasar dan menjaga kestabilan rupiah.
Hanya saja, seberapa besar intervensi lanjutan BI nanti, Aldian tak bisa memprediksi lebih rinci. Namun yang pasti, intervensi BI tetap akan mempertimbangan beberapa hal. Mulai dari kondisi global, kewajiban pembayaran dividen korporasi ke luar negeri, utang luar negeri pemerintah, hingga kebutuhan pembayaran pada aktivitas perdagangan.
"Tapi yang lebih besar adalah pengaruh dari kondisi global. Dari situ tentu BI akan intervensi dengan melihat kondisi dan sesuai dengan fundamental kestabilan rupiah itu sendiri," tutupnya.
(bir)