Jakarta, CNN Indonesia -- PT Pertamina (Persero) kehilangan potensi penerimaan sebesar Rp3,49 triliun dari penjualan Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis solar bersubsidi dan premium di luar wilayah Jawa-Madura-Bali (Jamali) selama Januari-Februari 2018. Apabila memperhitungkan penjualan premium di wilayah Jamali, potensi penerimaan yang terancam menguap mencapai Rp3,9 triliun.
Direktur Pemasaran Pertamina Muchamad Iskandar mengungkapkan saat ini, perseroan menjual solar bersubsidi seharga Rp5.150 per liter. Padahal, jika mengikuti formula harga pasar, harga solar seharusnya dijual Rp8.350 per liter.
"Untuk solar, masih terdapat selisih harga di 3.200 per liter dan itu sudah dikurangi subsidi Rp500 per liter," ujarnya saat menghadiri Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR di Gedung DPR, Senin (19/3).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara, untuk premium, harganya dibanderol Rp6.450 per liter untuk wilayah di luar Jamali dan Rp6.550 per liter untuk wilayah Jamali. Padahal, sesuai formula harga pasar, harga premium mencapai Rp8.600 per liter.
Jika kondisi tidak berubah hingga akhir tahun ini, sambung Iskandar, perseroan berpotensi kehilangan pendapatan sekitar Rp24 triliun.
"Kalau tidak ada yang berubah, hingga akhir tahun, potensi kehilangan pendapatan itu (Rp3,9 triliun) kalikan enam saja. Kemudian, ditambah lima hingga tujuh persen yang berasal dari kenaikan konsumsi pada waktu lebaran," katanya.
Pertamina harus rela kehilangan potensi pendapatan tersebut karena mendapatkan penugasan dari pemerintah sebagai Badan Usaha Niaga BBM penyalur Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) dan Jenis BBM tertentu bersubsidi.
Sebagai pemegang mandat pemerintah, perseroan harus menjual BBM tersebut dengan harga yang ditetapkan pemerintah.
Pada 2016, ketika harga minyak dunia masih berada di kisaran US$37 per harel, harga penetapan pemerintah sempat lebih tinggi dari harga pasar. Namun, begitu harga minyak dunia kembali menanjak hingga sekarang berada di atas US$60 per barel, pemerintah tak juga melakukan penyesuaian harga penetapan.
Di tempat yang sama, Wakil Ketua Komisi VII DPR Herman Khaeron meminta pemerintah lebih bijaksana dalam mengeluarkan kebijakan penetapan harga BBM bersubsidi agar tidak membebani keuangan Pertamina.
Herman mengingatkan perseroan juga memiliki kewajiban untuk menyetorkan sebagian penerimaan ke negara. Dengan demikian, kesehatan keuangan perseroan harus terjaga.
Karenanya, Khaeron menyarankan jika pemerintah tetap ingin menahan harga BBM solar dan premium hingga 2019, pemerintah harus memikirkan solusi bagi Pertamina, dalam hal ini berupa penambahan subsidi maupun kompensasi lain.
Dengan demikian, pasokan kepada masyarakat tetap terjamin dengan harga terjangkau dan kesehatan keuangan Pertamina bisa terjaga untuk tetap melakukan investasi.
"Kalau daya beli masyarakat akan dijaga, ya ditambah subsidi. Tetapi kalau kemudian Pertamina akan dibuat mati ya diserahkan kepada Pertamina tetapi harus pakai tertulis, sehingga jika di kemudian hari digugat menjadi jelas siapa yang bertanggung jawab membuat kondisi keuangan perusahaan merugi," pungkas Khaeron.
(bir)