Jakarta, CNN Indonesia -- Bank Indonesia (BI) menyatakan intervensi stabilitas nilai tukar rupiah yang dilakukan bank sentral telah sesuai dengan strategi yang dipetakan. Meski, kebijakan tak serta merta membuat rupiah kembali ke kisaran Rp13.400-13.500 per dolar AS seperti awal 2018.
Hal ini disampaikan Asisten Gubernur Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Dody Budi Waluyo menanggapi kritik pelaku pasar atas depresiasi rupiah yang masih terjadi hingga di level Rp13.700 per dolar AS meski bank sentral telah mengguyur pasar dengan cadangan devisa (cadev) pada awal Maret.
Dody mengatakan rupiah memang tak serta merta menguat tajam setelah BI mengintervensi. Hal ini karena BI tak setiap saat masuk ke pasar. Pasalnya, BI punya strategi sendiri yang menghitung kapan dan seberapa besar intervensi harus dilakukan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami lihat kondisi pasar, kalau membutuhkan baru kami masuk. Selain itu, kami punya taktikal. Kami pertimbangkan waktunya, kami lihat kapan waktu yang tepat (untuk intervensi)," ujar Dody kepada CNNIndonesia.com, Selasa (27/8).
Terkait kondisi pasar, Dody bilang, ada banyak hal yang mempengaruhi stabilitas rupiah, baik dari global maupun domestik. Dari sisi global, kebijakan dari bank sentral Amerika Serikat Federal Reserve tentunya memberi andil. Belum lagi ada pengaruh dari kebijakan bank sentral negara lain yang merespon The Fed.
Dari dalam negeri, hal utama yang memberi sentimen ke rupiah dan keharusnya BI melakukan intervensi adalah tingkat kepercayaan (confidence) pelaku pasar.
Menurutnya, rupiah memang terpukul oleh faktor global, tetapi kondisi ekonomi domestik sejatinya masih baik-baik saja, sehingga kurs rupiah tak perlu terlalu dikhawatirkan. Begitu pula dengan tingkat cadev yang digunakan untuk stabilisasi rupiah.
Ia bilang, saat ini mungkin ada beberapa pihak yang khawatir bila BI akan melakukan intervensi secara jor-joran tanpa strategi khusus dalam menyelamatkan rupiah. Nyatanya, BI tetap berhati-hati dalam menggelontorkan cadev dan jumlah cadev masih aman dengan tingkat kecukupan untuk membiayai 8,6 bulan impor.
"Kalau dikatakan (kecukupan cadev) untuk minimal tiga bulan impor, kami 8,6 bulan kok. Lalu rupiah, kalau semua berpikir Rp14 ribu per dolar AS, nanti saya tidak bisa juga (kuatkan kurs rupiah karena confidence masyarakat menembus angka tersebut)," jelasnya.
Untuk itu, Dody meyakinkan bahwa BI akan tetap berhati-hati dan tepat sasaran dalam melakukan intervensi stabilitas rupiah dengan turut memperhatikan ketersediaan cadev, besaran yang digunakan, dan waktu intervensi.
Tak Terpengaruh DividenDi sisi lain, Dody mengatakan penjadwalan intervensi BI tak terpengaruh oleh masa pembagian dividen yang diberikan korporasi di dalam negeri kepada pemilik saham di luar negeri. Pasalnya, ketika membagi dividen ke luar negeri, artinya korporasi perlu membayar dengan valuta asing (valas).
Hal ini dikhawatirkan bisa membuat porsi cadev menurun, sehingga mau tidak mau BI sengaja menahan penggunaan cadev untuk intervensi lantaran mempertimbangkan masa pembagian dividen lebih dulu.
"Oh tidak, kebutuhan swasta itu dilakukan oleh mereka sendiri, mereka tidak jual ke bank sentral. Penjualan valas BI itu lebih banyak ke pemerintah, misalnya untuk pembayaran pajak migas, penerbitan global bond, itu yang lebih utama," tuturnya.
Dengan begitu, ia memastikan penjadwalan intervensi BI tak terpengaruh oleh masa pembayaran dividen. Sebab, korporasi tak wajib menukarkan rupiahnya ke dolar AS di bank sentral nasional, sehingga arus valas baik dari sisi permintaan dan penawaran (supply and demand) tetap normal.
(lav)