BPK 'Cium' Permasalahan dalam Penetapan Tarif Tol

Yuli Yanna Fauzie | CNN Indonesia
Selasa, 03 Apr 2018 16:11 WIB
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyebut masih menemukan sejumlah permasalahan dalam kebijakan penetapan tarif dan pengelolaan operasional jalan tol.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyebut masih menemukan sejumlah permasalahan dalam kebijakan penetapan tarif dan pengelolaan operasional jalan tol. (ANTARA FOTO/Rosa Panggabean)
Jakarta, CNN Indonesia -- Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyebut masih menemukan sejumlah permasalahan dalam kebijakan penetapan tarif dan pengelolaan operasional jalan tol yang dijalankan Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT), Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), dan Badan Usaha Jalan Tol (BUJT).

Berdasarkan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II 2017 BPK yang diterima CNNIndonesia.com, setidaknya terdapat delapan hal yang menjadi sorotan BPK terhadap kebijakan tarif dan pengoperasian jalan tol.

Pertama, kenaikan tarif tol saat ini belum mempertimbangkan pemenuhan pelayanan atas kelancaran lalu lintas yang seharusnya didapat masyarakat. Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa beberapa ruas jalan tol tidak memenuhi indikator kecepatan tempuh minimal rata-rata sesuai Standar Pelayanan Minimal (SPM), yaitu kurang dari 40 km/ jam. Selain itu, aksesibilitas berupa panjang antrian pada gerbang tol juga melebihi 10 kendaraan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kenaikan tarif tol yang sesuai inflasi juga dinilai BPK belum sesuai dengan kondisi daya beli masyarakat. Menurut BPK, tingkat kenaikan tarif tol sesuai dengan inflasi seharusnya memiliki jarak yang tak jauh dengan daya beli masyarakat.

Menurut data BPS, selama tiga tahun terakhir (2013-2016) daya beli masyarakat meningkat, tetapi sangat kecil. Pertumbuhan daya beli tersebut berkisar antara 4,9 persen hingga 5,3 persen, lebih rendah dibanding tahun-tahun sebelumnya.

"Akibatnya, penggunaan jalan tol belum menikmati peningkatan pelayanan atas kelancaran lalu lintas dikaitkan dengan kenaikan tarif tol yang tinggi. Hal tersebut terjadi karena BPJT belum memerhatikan penuh pelayanan kelancaran lalu lintas dalam menyesuaikan tarif," jelas BPK.

Selain itu, BPK juga menilai perhitungan inflasi wilayah sejatinya belum memiliki ketentuan. Misalnya, sebuah tol melewati tiga kota, lantas takaran inflasi kota mana yang seharusnya digunakan untuk mengatur tingkat kenaikan tarif tol ke depan.


Kedua, BPJT belum melakukan penyesuaian tarif dan masa konsesi berdasarkan perubahan golongan kendaraan pengguna jalan tol. Seperti diketahui bahwa sebelum tahun 2007, ada lima golongan kendaraan dan tarif, yaitu golongan I, golongan I umum, golongan II A, golongan II A umum, dan golongan II B.

Sedangkan setelah 2007, diubah menjadi golongan 1, golongan 2, golongan 3, golongan 4, dan golongan 5. Hingga kini, penyesuaiannya belum dilakukan. Namun, Kementerian PUPR sudah berencana kembali mengubah golongan kendaraan di jalan tol menjadi tiga golongan saja, di mana golongan 4 dan 5 akan melebur ke golongan 3.

Ketiga, dari sisi operasional jalan tol, menurut BPK, jalan tol seharusnya merupakan akses jalan bebas hambatan, termasuk kemacetan. Namun nyatanya, BPK menemukan sejumlah ruas tol masih dilanda kemacetan pada pagi dan sore hari. 

"Misalnya, Tol Jakarta-Tangerang, Cawang-Tomang-Pluit, Jakarta Outer Ring Road (JORR), Jagorawi, Jakarta-Cikampek dan Ir. Wiyoto Wiyono (Cawang-Tanjung Priuk-Pluit)," tulis BPK dalam IHPS II 2017.
Kemacetan di jalan tol menjadi salah satu permasalahan yang disoroti OJK dalam operasional jalan tol. (CNN Indonesia/Andry Novelino)

Keempat, standar kecepatan tempuh rata-rata pada standar pelayanan minimal jalan tol belum sejalan dengan ukuran tingkat pelayanan bagi jalan tol yang ditetapkan oleh Kementerian Perhubungan.

Berdasarkan Standar Pelayanan Minimal (SPM) Kementerian PUPR, dikatakan bahwa kecepatan tempuh rata-rata jalan tol sekitar 40-60 kilometer/jam. Sedangkan Peraturan Menteri Perhubungan menyebutkan minimal 70 km/jam. Artinya, belum ada standar yang jelas dari pemerintah.


Kelima, kewajiban pelebaran jalan pada ruas tol tertentu belum dilakukan. Padahal, kewajiban itu diatur dalam Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol (PPJT), khususnya pada Rencana Bisnis (Bisnis Plan) pengusahaan jalan tol yang merupakan dasar perhitungan pemberian masa konsesi.

Temuan BPK menyatakan bahwa pelebaran jalan belum dilakukan. "Misalnya pada ruas jalan tol Jakarta-Tangerang (Segmen Toman-Kembangan) dan ruas jalan Tol Jagorawi (Segmen Bogor-Ciawi), meskipun telah melewati jangka waktu yang ditentukan dalam PPJT."

Keenam, transaksi pembayaran elektronik di beberapa gerbang tol belum sepenuhnya efektif dalam mengurangi panjangnya antrian kendaraan di gerbang tol. Hasil temuan BPK menyebutkan bahwa antrian panjang masih terjadi, pengendara masih ada yang tidak menggunakan kartu elektronik, pengisian saldo kartu elektronik menghambat di gerbang tol, dan lainnya.

BPK menilai, hal ini lantaran pengalihan transaksi pembayaran dari tunai ke nontunai belum memperhitungkan kapasitas jalan di pintu keluar akhir. Kondisi ini terjadi di pintu keluar tol Pejagan, Brebes Barat, dan Brebes Timur.


Ketujuh, minimnya rekayasa lalu lintas dalam mewujudkan kelancaran lalu lintas, khususnya pada waktu-waktu tertentu, misalnya pada arus mudik Lebaran, Natal, dan libur panjang akhir pekan (long weekend).

Kedelapan, pemantauan dan evaluasi BPJT terhadap Badan Usaha Jalan Tol (BUJT) belum optimal. Hal in terlihat dari masih belum adanya sejumlah kewajiban BUJT yang belum dijalankan, namun lepas dari kontrol BPJT.

BPK mencontohkan, kewajiban tersebut yakni ketepatan pelaksanaan SPM, evaluasi rencana pelaksanaan, pengoperasian, dan pemeliharaan yang disusun BUJT, hingga kewajiban pelebaran oleh BUJT sesuai dengan PPJT.

Atas temuan-temuan itu, BPK memberi rekomendasi kepada BPJT Kementerian PUPR untuk menyempurnakan aturan yang dibuatnya, mulai dari sisi perencanaan, pengoperasian, hingga evaluasi kebijakan tarif maupun pengoperasian jalan tol. (agi/bir)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER