Mengenal Neoliberalisme yang Dituduhkan Prabowo Dianut RI

SAH | CNN Indonesia
Rabu, 04 Apr 2018 09:47 WIB
Ekonom menilai Indonesia saat ini jauh dari paham neoliberalisme, tak seperti yang dituduhkan Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto.
Ekonom menilai Indonesia saat ini jauh dari paham neoliberalisme, tak seperti yang dituduhkan Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto. (CNN Indonesia/Andry Novelino)
Jakarta, CNN Indonesia -- Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto belum lama ini menyebut pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menganut paham neoliberalisme. Ucapannya tersebut diprotes oleh ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ma'ruf Amin.

Pemahaman Prabowo, kata Ma'aruf, salah karena rezim Jokowi membangun ekonomi dari bawah. Buktinya, sejak tahun lalu, Jokowi bersama Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meresmikan Bank Wakaf Mikro untuk mengembangan perekonomian umat, terutama di lingkungan pondok pesantren.

Lalu, sebenarnya apa itu paham neoliberalisme yang digemborkan oleh Prabowo?

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mengutip Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) neoliberalisme, merupakan aliran politik ekonomi yang ditandai dengan tekanan berat pada ekonomi pasar bebas, disertai dengan usaha menekan campur tangan pemerintah, dan konsentrasi kekuasaan swasta terhadap perekonomian.

Negara yang menganut paham neoliberalisme menyerahkan seluruh kegiatan perekonomiannya pada pasar. Intervensi pemerintah pada perekonomian sangat kecil apabila suatu negara menganut paham neoliberalisme.

Sebagai contoh, dalam paham neoliberalisme, pemerintah tidak ikut campur dalam penentuan gaji, upah, dan jaminan sosial seorang pekerja. Urusan tersebut murni diserahkan kepada pemilik kerja dan pekerjanya.

Ekonom Samuel Aset Manajemen Lana Soelistianingsih mengatakan sebuah pemerintahan yang menganut sistem neoliberalisme ditandai oleh sedikitnya peran pemerintah terhadap pasar. Dengan demikian, pasar yang menentukan alokasi sumber daya yang dimiliki suatu negara.

"Pasar misalnya butuh makanan yang lebih banyak tentu pengelolaan resources-nya (sumber daya) akan ke arah sana," kata Lana saat dihubungi CNNIndonesia.com, Selasa (3/4).


Sedangkan, dengan melihat kondisi Indonesia saat ini, menurut Lana, peran pemerintah sangat besar terhadap perekonomian Indonesia. Ia mencontohkan, kebijakan pemerintah dengan menyertakan jaminan sosial kesehatan dan ketenagakerjaan bagi pekerja melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang sudah diusung sejak rezim Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

"Seperti BPJS misalnya itu bagian dari pemerintah lebih ada di dalam kebutuhan kesehatan masyarakat dan itu dilanjutkan dalam pemerintahan Jokowi dengan anggaran yang lebih besar," kata Lana.

Selanjutnya, intervensi pemerintah terlihat dari Bantuan Sosial (Bansos) berupa Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan NonTunai (BPNT), dan beberapa program lainnya. Anggaran untuk Bansos tersebut, menurut Lana, juga meningkat jauh sejak rezim SBY yang hanya sebesar Rp19 triliun menjadi Rp289 triliun pada era Jokowi.
Pemerintah dinilai selama ini banyak melakukan intervensi pada perekonomian, antara lain melalui program-program bantuan sosial. (CNN Indonesia/Christie Stefanie)
Hal itu menunjukan peran pemerintah terhadap perekonomian yang semakin besar. Dengan demikian, menurut Lana, pernyataan Prabowo yang menilai perekonomian Indonesia menganut sistem neoliberalisme sudah tidak relevan.

Senada dengan Lana, Ekonom Universitas Indonesia (UI) Ari Kuncoro beranggapan, sistem perekonomian Indonesia jauh dari paham neoliberalisme. Menurut Ari, salah satu negara yang menganut paham neoliberalisme adalah Monaco.

Di negara tersebut, menurut dia, pemerintahan di sana tidak banyak ikut campur terkait masalah perekonomian. Hal itu karena hampir seluruh warganya sudah makmur dan tidak lagi membutuhkan intervensi pemerintah.

Amerika Serikat (AS) juga pernah menganut paham tersebut di era sebelum 1930. Ari bercerita, kala itu pemerintah AS tidak melakukan intervensi pada perekonomiannya. Namun, tak adanya jaminan sosial kesehatan dan pembangunan infrastruktur di daerah terpencil oleh negara kemudian membuat negara tersebut mengalami krisis ekonomi kala itu.


Hal ini kemudian menyebabkan pemerintah AS sadar dan membuat kebijakan-kebijakan guna mengintervensi perekonomian, salah satunya melalui jaminan sosial kesehatan kepada masyarakatnya.

Sementara itu, di Indonesia, pemerintah sangat jauh dari paham neoliberalisme. Hal ini terlihat dari program-program pemerintah yang ada saat ini sudah mengintervensi perekonomian.

Ia mencontohkan banyaknya program pembangunan infrastruktur di daerah terpencil menunjukan betapa intervensi pemerintah sudah cukup tinggi dalam perekonomian Indonesia.

"Pembangunan infrastruktur di daerah terpencil, BPJS, beasiswa sekolah, dan pengendalian harga pangan ini sudah jauh dari neoliberalisme," kata Ari saat dihubungi terpisah.

Saat ini, kebijakan-kebijakan pemerintah, menurut Ari, mengarah pada pertumbuhan yang berkualitas dan berorientasikan pemerataan. Namun, pada praktiknya, memang kebijakan-kebijakan pemerintah tersebut masih belum efektif untuk mengentaskan ketimpangan dan kemiskinan.


Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penduduk miskin yang tercatat pada September 2017 mencapai 26,58 juta. Apabila dibandingkan dengan September 2016, tingkat kemiskinan turun dari 10,7 persen menjadi 10,12 persen.

Sementara untuk data koefisien gini, selama periode 2015-2017 rata- rata turun 0,0045 per tahun yaitu dari 0,4 (September 2015) kemudian 0,394 (September 2016) dan 0,391 (September 2017).

"Pernyataan Prabowo mungkin relevan untuk tahun 70-an, tapi kalau sekarang soal neoliberalisme sudah tidak lagi," katanya.


Untung Rugi Neoliberalisme
Menurut Lana, seperti halnya berbagai paham ekonomi lainnya, paham neoliberalisme memiliki sisi positif dan negatif. Sisi positifnya, menurut dia, lantaran paham ini memberikan kebebasan pada sektor swasta dan masyarakat untuk menentukan apa yang dibutuhkan tanpa intervensi pemerintah.

Hal ini memberikan kebebasan bagi sektor swasta untuk berkompetisi dan menciptakan harga terbaik bagi pasar.

Sementara itu, sisi negatifnya, tak adanya intervensi pemerintah membuat masyarakat yang tidak memiliki akses terhadap sumber daya tersebut kian tertinggal.

"Yang tidak punya kesempatan terhadap sumber daya justru akan tertinggal," kata Lana. (agi)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER