Jakarta, CNN Indonesia --
Bank Indonesia (BI) berencana menghapus jasa giro yang diberikan kepada perbankan saat menempatkan dananya di bank sentral tersebut. Saat ini, BI memberikan jasa giro sebesar 2,5 persen dari 1,5 persen total Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan yang ditempatkan.
Asisten Gubernur Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Dody Budi Waluyo menjelaskan pemberikan jasa giro terkait dengan kebijakan Giro Wajib Minimum (GWM). GWM adalah dana minimum dana yang wajib ditaruh perbankan di bank sentral.
Selama ini, menurut Dody, GWM digunakan sebagai alat untuk menarik likuiditas dari perbankan dan menahan laju perekonomian.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jasa giro 2,5 persen kami nihilkan mulai 16 Juli 2018. Jasa giro ini kan insentif untuk mengkontraksi (menarik likuiditas dari bank). Sedangkan kami sekarang ini mendorong bank menyalurkan likuiditasnya," ujarnya di Jakarta, Kamis (5/4).
Selain itu, penghapusan jasa giro dilakukan berkaca pada sebagian besar bank sentral negara lain yang kini tak memberikan jasa giro atas penempatan GWM.
Saat ini, GWM primer ditetapkan sebesar 6,5 persen dari total DPK. Dari total GWM primer tersebut, di antaranya GWM averaging (rata-rata) 1,5 persen dari total DPK memperoleh jasa giro. Berdasarkan data Statistik Perbankan OJK paling anyar, total DPK perbankan pada Januari 2018 mencapai Rp5.229 triliun. Menggunakan asumsi DPK tersebut, BI bisa 'menghemat' pembayaran jasa giro untuk perbankan sekitar Rp2 triliun.
Adapun penempatan dana perbankan di BI pada periode yang sama mencapai Rp679,19 triliun.
'Longgarkan' Likuiditas bank Selain menghapus jasa giro, BI bakal memberikan keleluasaan bagi bank dalam mengelola likuiditas. Hal tersebut dilakukan agar bank mendorong penyaluran kredit dan memperdalam pasar kuangan dengan lebih gencar membeli surat berharga. Keleluasaan bagi bank mengelola likuiditas dilakukan melalui peningkatan rasio GWM averaging dari 1,5 persen menjadi 2 persen. Dengan demikian, bank hanya perlu menjaga GWM tetap secara harian sebesar 4 persen dari total DPK.
Sementara itu, total dana 2 persen dari total GWM dapat dipenuhi secara rata-rata dalam periode dua minggu.
BI juga mengubah ketentuan GWM sekunder. GWM sekunder merupakan bantalan cadangan likuiditas yang dipenuhi bank dengan memiliki surat berharga. Saat ini, bank diwajibkan memiliki surat berharga senilai 4 persen dari total DPK.
"GWM sekunder nantinya tak ada lagi, yang ada adalah penyangga likuiditas makroprudensial (PLM)," terang dia.
Namun, PLM tak berbeda dengan GWM sekunder. Hanya saja, kini aturan PLM juga berlaku bagi bank syariah yang sebelumnya tak diwajibkan memenuhi GWM sekunder.
Selain itu, BI juga mengubah aturan perhitungan likuiditas perbankan dari semula menggunakan rasio antara pendanaan dengan kredit atau Loan to Funding Ratio (LFR) menjadi Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM).
LFR merupakan rasio total kredit dibanding total DPK ditambah surat berharga yang diterbitkan bank. Sementara, RIM merupakan rasio total kredit dan surat berharga yang dimiliki bank dibandingkan dengan rasio DPK ditambah surat berharga yang diterbitkan bank.
Kendati boleh memperbanyak pembelian surat berharga, bank hanya boleh memiliki surat berharga dengan peringkat tertentu dan bukan diterbitkan oleh bank.
Asisten Gubernur Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial Filianingsih Hendarta menyebut perubahan rasio ini tak akan membuat bank menggeser penyaluran kredit ke pembelian surat berharga.
"Sekarang ini surat yang berharga yang dimiliki bank baru 0,99 persen dari total kredit atau Rp46 triliun. Jadi masih sangat jauh," jelasnya.
(bir)