Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah menuntut korporasi minyak dan gas (migas) dan mineral dan batu bara (minerba) untuk membuka informasi tentang pemilik manfaat dari korporasi atau
Beneficial Ownership (BO) untuk industri ekstraktif di Indonesia pada 2020 mendatang.
Sebelumnya, keterbukaan BO sektor migas dan minerba merupakan salah satu syarat untuk memenuhi Standar Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) dimana Indonesia menjadi salah satu negara pelaksana EITI bersama 50 negara lainnya.
"Sesuai dengan Standar EITI, pada 2020, seluruh negara pelaksana EITI, termasuk Indonesia harus dapat membuka data tentang nama, kewarganegaraan, dan domisili pemilik manfaat atau BO dari korporasi industri ekstraktif," ujar Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Energi, Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Montty Girianna dalam keterangan resmi, dikutip Rabu (25/4).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
untuk meningkatkan transparansi BO, hari ini, Kemenko Bidang Perekonomian mengadakan sosialisasi pelaporan BO untuk industri ekstraktif di Gedung Graha Sawala, Komplek Kemenko Perekonomian.
Montty mengungkapkan kerahasiaan kepemilikan berkontribusi dalam kegiatan korupsi, pencucian uang dan penggelapan pajak. Kondisi ini terutama terjadi di banyak negara kaya sumber daya ekstraktif.
"Namun, sampai saat ini, hanya ada sedikit informasi yang tersedia untuk publik mengenai pemilik manfaat sesungguhnya dari perusahaan," katanya.
Sebagai payung hukum pelaksanaan transparansi BO, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 13 tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme yang diundangkan pada awal bulan Maret 2018 yang lalu.
Selain itu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) juga telah menerbitkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 48 Tahun 2017 tentang Pengawasan Pengusahaan di Sektor ESDM, dan Surat Edaran dari Direktur Jenderal Mineral dan Batubara yang mensyaratkan keterbukaan data BO dalam pengajuan perizinan di bidang pertambangan mineral dan batu bara.
Montty mengingatkan pelaksanaan transparansi BO di Indonesia merupakan kerja kolektif dari sejumlah kementerian dan lembaga. Hal ini juga didukung oleh komitmen Indonesia di keanggotaannya dalam sejumlah inisiatif global.
Sebagai catatan, selain menjadi negara anggota EITI, Indonesia juga menjadi negara anggota G-20 yang telah menyepakati pentingnya transparansi BO yang akurat dan dapat diakses oleh lembaga yang berwenang. Tak hanya itu, Indonesia juga harus memiliki peraturan domestik yang sesuai dengan Standar FATF (
Financial Act Task Force) untuk mencegah praktik pencucian uang.
(bir)