Kwik: Pelemahan Rupiah Tak Bakal Seperti Krisis 1998

Yuli Yanna Fauzi | CNN Indonesia
Senin, 23 Apr 2018 20:44 WIB
Ahli ekonomi Kwik Kian Gie menilai posisi nilai tukar atau kurs rupiah berpotensi terus melemah walaupun tak bakal seperti saat krisis keuangan pada 1998.
Ahli ekonomi Kwik Kian Gie menilai posisi nilai tukar atau kurs rupiah berpotensi terus melemah walaupun tak bakal seperti saat krisis keuangan pada 1998. (Foto: CNN Indonesia/Safir Makki)
Jakarta, CNN Indonesia -- Ahli ekonomi Kwik Kian Gie menilai posisi nilai tukar atau kurs rupiah berpotensi terus melemah walaupun tak bakal seperti saat krisis keuangan pada 1998.

Kala itu, rupiah tembus ke angka Rp16.800 per dolar Amerika Serikat (AS) dan mencetak rekor terburuknya sepanjang sejarah.

"Saya kira tidak, kalau terjadi krisis yang besar seperti 1998. Tapi artinya, setiap generasi (kurs rupiah) terus merosot," ujar Kwik usai menjadi pembicara satu diskusi di kawasan Kemang, Senin (23/4).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurutnya, pelemahan rupiah tak akan sampai memicu krisis keuangan lantaran tekanan pasar keuangan saat ini berbeda dengan era 1998. Diketahui, Bank Indonesia (BI) saat ini masih bisa melakukan intervensi untuk menahan pelemahan rupiah yang terlalu dalam.


Namun, ia masih enggan membagi prediksi berapa kisaran terburuk dari pelemahan rupiah ke depan setelah menyentuh angka Rp13.975 per dolar AS pada penutupan perdagangan hari ini.

"Tidak bisa diprediksi karena banyak faktor. Salah satunya intervensi, cuma kenyataannya sampai seberapa, tentu tidak kuat secara riil (hasil intervensi), sehingga merosotnya (kurs rupiah) pelan-pelan, tidak drastis langsung," jelasnya.

Intervensi BI

Di sisi lain, Kwik menilai BI tak bisa terus-menerus melancarkan intervensi dengan menggelontorkan cadangan devisa atau cadev ke pasar uang. Pasalnya, yang perlu diingat adalah kurs rupiah harus pula terbentuk sesuai dengan pergerakan ekonomi pasar.


"Menurut saya tidak mungkin diintervensi lagi, oleh karena fundamental (ekonomi Indonesia) yang sudah begitu rupa, sehingga kalau mau intervensi lagi hanya menghabiskan cadev," kata.

Persoalan lain, menurutnya, intervensi BI bisa jadi sia-sia lantaran ketergantungan impor Indonesia masih terlalu tinggi. (asa)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER