BI Bisa Pinjam Devisa dari Jepang dalam Yen

Yuli Yanna Fauzie | CNN Indonesia
Jumat, 04 Mei 2018 17:41 WIB
Melalui kesepakatan baru dengan Kementerian Keuangan Jepang, BI kini bisa meminjam devisa dalam bentuk yen dengan nilai mencapai US$22,76 miliar.
Melalui kesepakatan baru dengan Kementerian Keuangan Jepang, BI kini bisa meminjam devisa dalam bentuk yen dengan nilai mencapai US$22,76 miliar. (REUTERS/Lee Jae-Won)
Jakarta, CNN Indonesia -- Bank Indonesia (BI) dan Kementerian Keuangan Jepang menyepakati rencana amandemen perjanjian hubungan kerja sama bilateral terkait pengaturan pertukaran mata uang (Bilateral Swap Arrangement/BSA) dengan nilai mencapai US$22,76 miliar.

Kepala Departemen Internasional BI Doddy Zulverdi menjelaskan, amandemen ini akan memberikan keleluasaan kepada BI untuk meminjam devisa ke Jepang. Tak hanya dalam bentuk mata uang dolar AS seperti perjanjian yang sudah disepakati sejak Februari 2003, nantinya BI dapat meminjam devisa berdenominasi yen ke Jepang.

"Kami sepakat untuk amandemen dengan substansi utama fleksibelitas. Amandemen ini penguatan dari perpanjangan yang terakhir, namun itu masih berlaku dan baru jatuh tempo pada 12 Desember 2019. Meski belum jatuh tempo, kami semangat untuk memperbarui," ujar Doddy di Gedung BI, Jumat (4/5).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Saat ini, proses amandemen tengah dilakukan dengan memfinalisasi aturan terkait mekanisme, legal, dan lainnya. Hanya saja, secara garis besar pengaturannya masih sama. Ia mencontohkan, dari sisi nilai penarikan tetap merujuk pada perjanjian yang disepakati dulu, yaitu sebesar US$22,76 miliar untuk kurun waktu tiga tahun masa perjanjian.

Dengan begitu, kedua negara tidak menentukan porsi nilai tertentu yang bisa ditarik dalam bentuk dolar AS maupun yen. "Persentasenya (penarikan devisa) fleksibel, tergantung kebutuhan BI. Kalau sedang butuh yen yang lebih besar, itu nanti kami bisa ambil. Kalau tidak ya tidak perlu," jelasnya.


Kendati begitu, Doddy bilang, sebenarnya sejak BSA disepakati kedua negara sejak 2003 silam, BI belum pernah menarik pinjaman devisa ke Jepang sedikit pun. Pasalnya, posisi cadangan devisa (cadev) BI saat ini masih sekitar US$126 miliar atau masih cukup untuk membiayai kebutuhan impor sekitar 7 bulan.

Namun, ia memandang, perjanjian ini tetap perlu dibuat dan terus diperkuat untuk berjaga-jaga bila sewaktu-waktu BI kekurangan cadangan devisa. Untuk itu, amandemen perjanjian ini tetap perlu dilakukan. Bahkan, nilai pinjaman devisa yang disepakati kedua negara terus berkembang dari waktu ke waktu.

Ia mencatat, pada awal perjanjian, nilai kesepakatan pinjaman devisa hanya setengah dari nilai sekarang ini, sekitar US$11,38 miliar. "Kalau tidak perlu, ya kami tidak pakai dan kami memang belum pernah pakai," imbuhnya.

Lebih lanjut, kedua negara sepakat melakukan amandemen lantaran ingin memperkuat jaring pengaman keuangan nasional dan regional di kawasan Asia Tenggara ditambah Jepang, Korea Selatan, dan China (ASEAN+3).

"Kalau kami hadapi masalah nilai tukar, pertama kami berikan intervensi. Tapi kalau dibutuhkan lebih, kami buat second line of defense (garis pengamanan kedua). BI terus perkuat jaring ini," tuturnya.

Selain BSA, kedua negara juga sepakat untuk memperbesar penggunaan mata uang nondolar AS di kawasan ASEAN+3 untuk mengurangi ketergantungan pada dolar AS. "Situasi global yang masih penuh ketidakpastian, membuat kedua otoritas berupaya menjaga stabilitas keuangan di regional," terangnya.


Kemudian, khususnya hubungan Indonesia-Jepang, kedua negara memiliki catatan panjang pada hubungan perdagangan ekspor impor. BI mencatat, setidaknya Jepang merupakan negara sumber impor ketiga bagi Indonesia, setelah China dan Singapura. Nilai impor Indonesia dari Jepang rata-rata mencapai US$17,1 miliar per tahun atau sekitar 10,6 persen dari total impor Indonesia.

Sedangkan dari sisi ekspor, Jepang rupanya juga menjadi negara tujuan ekspor bagi Indonesia dengan nilai rata-rata mencapai US$23,9 miliar per tahun atau sekitar 14 persen dari total ekspor Indonesia sejak kurun 2010-2016.

Tak hanya itu, dari sisi investasi langsung (Foreign Direct Invesment/FDI), Jepang menempati posisi kedua, setelah Singapura, sebagai penyuntik investasi asing ke Tanah Air. Nilai investasinya mencapai lebih dari US$4 miliar atau sekitar 17,6 persen dari total investasi asing yang masuk pada tahun lalu.

Di sisi lain, Doddy mengungkapkan bahwa amandemen BSA ini tak semata-mata dilakukan lantaran nilai tukar atau kurs rupiah tengah tertekan. Sejatinya, rencana amandemen ini telah diinginkan sejak lama oleh BI sebagai upaya penguatan jaring keamanan keuangan nasional.

"Ini tidak tiba-tiba, jauh sebelum tekanan rupiah. Karena pertemuan ASEAN+3 ini adalah pertemuan tahunan. Ini semangatnya untuk memperluas ketersediaan mata uang non dolar AS, jadi sekecil apapun itu, kami bisa sediakan. Kami punya likuiditasnya," pungkasnya. (agi)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER