BPS: Tambahan Libur Lebaran Tekan Produksi dan Kinerja Ekspor

Yuli Yanna Fauzie | CNN Indonesia
Senin, 07 Mei 2018 21:30 WIB
Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan penambahan libur Lebaran 2018 berpotensi menekan jumlah produksi industri karena berkurangnya hari kerja.
Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan penambahan cuti bersama atau libur Lebaran 2018 berpotensi menekan jumlah produksi industri karena berkurangnya hari kerja. (CNN Indonesia/Yuliyanna Fauzi)
Jakarta, CNN Indonesia -- Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan penambahan cuti bersama atau libur Lebaran 2018 berpotensi menekan jumlah produksi industri karena berkurangnya hari kerja. Bahkan, tekanan pada jumlah produksi industri lebih lanjut membayangi kinerja ekspor Indonesia.

"Kalau cuti lebih lama akan banyak produksi yang terganggu, tapi seberapa jauh besarnya kami tidak punya hitungan pasti," ujar Kepala BPS Suhariyanto di Gedung BPS, Senin (7/5).

Dari jumlah produksi yang menurun terus, menurutnya, otomatis membuat kinerja ekspor bisa ikut tertekan. Pasalnya, berdasarkan tren selama ini, pada bulan-bulan yang hari kerjanya lebih rendah pasti total nilai ekspornya lebih rendah dibandingkan bulan-bulan dengan jumlah hari kerja yang lebih banyak.

Misalnya, ia menyontohkan, nilai ekspor Maret biasanya akan lebih tinggi dibandingkan Februari. Pasalnya, pada Februari lalu, jumlah hari kerja efektif hanya 20 hari, sedangkan Maret bisa mencapai 22 hari. Artinya, ada jumlah hari kerja yang lebih banyak.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kalau bicara ekspor impor, misalnya bicara bulan Februari dan Maret, saya selalu bilang ini jumlah hari, akan selalu berpengaruh pada ekspor," katanya.

Kendati begitu, ia belum bisa memperkirakan seberapa besar tekanan tambahan cuti bersama ke produktivitas industri dan dampaknya ke kinerja ekspor. "Ini tergantung pada sektor usahanya juga," terangnya.

Sebelumnya, Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) memperkirakan, industri makanan dan minuman (mamin) berpotensi kehilangan pendapatan itu sekitar 30 persen dari rata-rata pendapatan industri mamin nasional sebesar Rp150 triliun per bulan akibat penambahan cuti bersama ini.

Ketetapan tambahan cuti bersama ini diputuskan pemerintah untuk mengurai potensi penumpukan kendaraan jelang mudik Lebaran 2018. Pemerintah telah memutuskan untuk tak mengubah aturan cuti bersama dan tetap berpegangan pada Surat Ketetapan Bersama (SKB) tiga menteri yang sebelumnya telah ditetapkan. Dengan demikian, libur Lebaran untuk Pegawai Negeri Sipil (PNS) tetap ditetapkan 10 hari, mulai dari 11-20 Juni 2018.

Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani menuturkan bahwa keputusan tersebut telah diambil berdasarkan sejumlah pertimbangan dan masukan dari berbagai pihak termasuk pengusaha.

Kendati menetapkan libur Lebaran selama 10 hari, pemerintah memberikan keleluasaan bagi swasta untuk menetapkan cuti bersama atau libur Lebaran bagi pegawainya. "Dengan keputusan libur Lebaran ini, diharapkan industri dapat berjalan kondusif," tutur Puan.

Puan menjelaskan pasar modal rencananya akan kembali dibuka pada 20 Juni 2018. Sedangkan jadwal layanan perbankan selama libur Lebaran rencananya akan ditetapkan oleh Bank Indonesia (BI).

Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri menjelaskan bahwa penetapan cuti bersama atau libur Lebaran pada pegawai swasta bersifat fakultatif atau pilihan. Perusahaan dan pekerja dapat menetapkan secara bersama libur Lebaran tanpa harus mengikuti keputusan pemerintah. "Cuti swasta dilakukan atas kesepekatan pekerja dan buruh dengan memperhatikan kondisi yang ada," katanya.


Gairahkan Konsumsi
Meski berpotensi menekan produksi industri dan mengganggu kinerja ekspor, namun BPS melihat, ada potensi sumbangan konsumsi yang lebih tinggi lantaran adanya penambahan cuti bersama. Hal ini lantaran adanya potensi perpindahan masyarakat dari daerah satu ke yang lainnya, yang selanjutnya membuat masyarakat melakukan konsumsi lebih banyak.

"Mungkin ke pariwisata, sektor wisatanya akan bergerak dari sisi tingkat hunian hotel, restoran, akomodasi, dan lainnya. Kalau turis luar negeri kan tidak bawa oleh-oleh, kalau turis domestik bisa (beli oleh-oleh) untuk satu RT. Jadi pengeluarannya besar (saat libur Lebaran)," katanya.

Hanya saja, lagi-lagi ia belum bisa memperkirakan seberapa besar peningkatan konsumsi masyarakat pada libur Lebaran nanti. Namun, setidaknya secara tren, biasanya memang konsumsi masyarakat meningkat pada bulan Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri.

"Kalau konsumsi masyarakat di Ramadan dan Lebaran itu akan naik, mau libur atau tidak dengan sendirinya, sudah kebiasaannya dari tahun sebelumnya. Tapi tergantung pada komposisi barang dan apakah ada switching (pengalihan konsumsi) atau tidak," pungkasnya. (lav)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER