Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Koordinator bidang Kemaritiman
Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan aksi balas dendam perdagangan dengan Uni Eropa bukan jalan utama untuk menyikapi proteksionisme Benua Biru terhadap impor
biodiesel Indonesia sebagai turunan produk kelapa sawit.
Luhut menjelaskan, sejauh ini pemerintah masih melakukan langkah diplomasi untuk menghadapi rencana pembatasan penggunaan biodiesel di Eropa. Namun, jika langkah negosiasi sudah buntu, maka mau tak mau Indonesia melakukan retaliasi dagang.
Retaliasi merupakan tindakan suatu negara dalam menangguhkan kemudahan perdagangan untuk negara lain. Hal itu biasanya dilakukan sebagai balasan akibat adanya proteksionisme perdagangan dari negara lain yang merugikan.
"Langkah retaliasi merupakan aksi terakhir, tapi tentu kami harus lihat secara komprehensif. Kami sebenarnya tidak mengenal kata retaliasi, selama bisa diperjuangkan dengan perundingan kenapa harus balas dendam," jelas Luhut, Selasa (8/5).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, Indonesia masih punya banyak celah untuk memantapkan posisinya di hadapan Uni Eropa. Alasan pertama, saat ini antara Komisi Eropa, Parlemen Eropa, dan Komisi Energi Uni Eropa tengah memasuki masa perundingan tiga pihak sebagai tindak lanjut dari disetujuinya revisi Renewable Energy Directive (RED) oleh parlemen Uni Eropa 18 Januari silam.
Di dalam revisi RED yang dilontarkan parlemen Uni Eropa, biodiesel tidak akan dimasukkan dalam kontribusi penggunaan energi baru dan terbarukan (EBT), sehingga impornya akan dibatasi tahun 2021 mendatang. Kebijakan ini memang belum final, karena harus mendapat persetujuan dari Komisi Eropa dan Komisi Energi Uni Eropa.
Hanya saja, di dalam perundingan tiga pihak tersebut, masing-masing lembaga memutuskan untuk menentukan sendiri porsi penggunaan biodiesel terhadap bahan bakar nabati. Dengan demikian, masih ada kemungkinan Indonesia untuk bisa mengekspor biodiesel ke Eropa.
Di samping itu, sikap China untuk menambah impor minyak kelapa sawit dari Indonesia sebesar 500 ribu ton kemarin menjadi sentimen positif. Pasalnya, hal itu dianggap sebagai sinyal kuat bagi Uni Eropa bahwa negara dengan performa ekonomi matang seperti China masih butuh produk kelapa sawit dari Indonesia.
"Lobi dengan Uni Eropa sejauh ini sudah cukup baik. Masih ada room untuk bermain, dan ada China yang juga memberi sinyal ke Uni Eropa untuk jangan terus memusuhi Indonesia," lanjut dia.
RI Pilih Boeing Daripada AirbusKalaupun harus melakukan balas dendam, pemerintah Indonesia sudah bersiap untuk menghentikan impor pesawat dari Eropa. Di hadapan parlemen Eropa April kemarin, Luhut mengatakan bahwa Indonesia siap bekerja sama dengan Boeing asal AS ketimbang Airbus, yang notabene berasal dari Perancis.
Apalagi, Indonesia berencana untuk mengimpor pesawat sebanyak US$25 miliar ke depan, sehingga penghentian kerja sama ini bisa memukul nilai ekspor Uni Eropa ke Indonesia. Tak hanya itu, Luhut mengatakan ia sudah bertemu Boeing di Washington DC, Tokyo, dan Korea Selatan untuk membicarakan pembangunan pabrik perakitan di Indonesia.
Meski demikian, ia menganggap retaliasi dagang ini masih jauh dari benak Indonesia karena Indonesia menikmati surplus neraca perdagangan yang cukup besar terhadap Uni Eropa. Di samping itu, ia khawatir langkah retaliasi ini bisa mengundang Uni Eropa untuk membatasi impor lain dari Indonesia.
"Mereka (Boeing) tertarik juga, karena ekonomi di Indonesia ini sedang membaik. Sebetulnya, kami ingin bekerja sama dengan keduanya (Boeing dan Airbus), tapi ini strategi bluffing kami," terang dia.
Menurut data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), ekspor minyak kelapa sawit dan turunannya ke Uni Eropa tercatat 5,03 juta ton di tahun 2017. Angka ini naik 15 persen dari tahun 2017 sebesar 4,37 juta ton.
(lav)