Merosot, Harga Minyak Sempat Tembus US$80 per Barel

Safyra Primadhyta | CNN Indonesia
Jumat, 18 Mei 2018 07:39 WIB
Harga minyak mentah dunia menyentuh level di atas US$80 untuk pertama kalinya sejak November 2014, pada perdagangan Kamis (17/5), waktu Amerika Serikat (AS).
Seorang nelayan menaiki perahu melewati kilang minyak dekat dengan pelabuhan di Singapura. (REUTERS/Edgar Su)
Jakarta, CNN Indonesia -- Harga minyak mentah dunia menyentuh level di atas US$80 untuk pertama kalinya sejak November 2014, pada perdagangan Kamis (17/5), waktu Amerika Serikat (AS).

Dilansir dari Reuters, Jumat (18/5), kombinasi dari penurunan drastis pasokan minyak Venezuela, kekhawatiran terhadap sanksi AS yang dapat mengganggu ekspor dari Iran, dan merosotnya persediaan minyak global telah mendongkrak harga minyak hampir 20 persen sejak awal tahun.

Harga minyak mentah berjangka Brent sempat menyentuh level US$80,5 per barel sampai akhirnya ditutup menguat US$0,02 menjadi US$79,3 per barel.
Sementara itu, harga minyak mentah berjangka AS West Texas Intermediate (WTI) ditutup di level yang sama dengan sehari sebelumnya, US$71,49 per barel. Selama sesi perdagangan berlangsung, harga WTI sempat menyentuh US$72,3 per barel, tertinggi sejak November 2014.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Persediaan minyak mentah dan bahan bakar minyak (BBM) global telah merosot tajam dalam beberapa bulan terakhir. Hal itu dipicu oleh kuatnya permintaan, di tengah implementasi kesepakatan pemangkasan produksi oleh Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya.

Sejak Januari 2017, OPEC dan sekutunya, termasuk Rusia, telah memangkas produksi minyak sebesar 1,8 juta barel per hari (bph). Kelanjutan dari kebijakan pasokan ini akan di bahas dalam pertemuan berikutnya di Wina, Austria pada Juni 2018 mendatang.

Kendati demikian, krisis perekonomian di Venezuela dan prospek pengenaan sanksi tambahan AS terhadap Venezuela menyusul penyelenggaraan pemilihan umum pada 20 Mei 2018 mendatang dapat memukul pasar lebih jauh.
"Saya memperkirakan produksi (minyak mentah) Venezuela akan terus merosot dan pemilihan umum yang akan datang membawa kekhawatiran bahwa AS bakal memberikan sanksi tambahan kepada Venezuela yang bisa mempercepat tergerusnya pasokan," ujar Presiden Lipow Oil Associates Andrew Lipow di Houston.

Menurut Lipow, penjualan minyak dari Iran juga berpotensi merosot sebesar 300 ribu hingga 500 ribu bph pada enam pekan ke depan.

Hal itu imbas dari keputusan Presiden AS Donald Trump bulan ini untuk keluar dari kesepakatan nuklir internasional dengan Iran. Pengenaan sanksi kembali dapat membatasi ekspor minyak mentah dari produsen terbesar ketiga OPEC itu.

Di AS, kenaikan produksi minyak dan ekspor telah membatasi reli harga. Akibatnya, selisih harga Brent dan WTI pada perdagangan kemarin mencapai US$8,2 per barel, terlebar sejak April 2015.
Produksi minyak mentah AS telah melonjak sekitar 27 persen sejak dua tahun lalu ke level 10,72 juta bph. Produksi AS hanya di bawah Rusia yang merupakan produsen minyak mentah terbesar di dunia dengan 11 juta bph.

Kendati demikian, kenaikan produksi minyak mentah AS tak cukup untuk menghentikan reli harga. Menteri Energi Arab Saudi dan Uni Emirat Arab dalam catatannya menyatakan bahwa pasokan pasar dalam kondisi baik.

Dalam pernyataan gabungan, kedua Menteri menyalahkan tensi geopolitik internasional sebagai biang kerok volatilitas harga. Keduanya berencana untuk bertemu dengan Rusia di Saint Petersburg, Rusia, dalam sepekan ke depan untuk membahas kondisi pasar minyak.

Para analis dari Bernstein memperkirakan persediaan minyak global bakal menurun lebih tajam mengingat sudah mendekati puncak permintaan di musim panas. Penurunan stok tersebut dapat mengimbangi kenaikan produksi minyak shale.

Beberapa bank telah mengerek proyeksi harga minyak mereka beberapa hari terakhir, dipicu oleh pengetatan pasokan dan kuatnya permintaan.

Penopang harga minyak selanjutnya berasal dari Royal Dutch Shell yang menyatakan tengah menahan ekspor minyak mentah dari salah satu pipa utama di Nigeria.
Di sisi lain, Badan Energi Internasional (IEA), pada Rabu (16/5) lalu, mengingatkan bahwa tingginya harga minyak dapat menekan konsumsi. Badan yang berkantor pusat di Paris, Perancis itu memangkas proyeksi pertumbuhan permintaan minyak mentah global untuk 2018 dari 1,5 juta bph menjadi 1,4 juta bph.

EIA memperkirakan rata-rata permintaan minyak global tahun ini bakal di kisaran 99,2 juta bph. Sementara itu, bank AS Goldman Sachs meramal tingkat konsumsi bakal menembus 100 juta bph selama puncak periode musim panas. (lav)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER