Jakarta, CNN Indonesia -- Wakil Ketua DPR Fadli Zon menilai
utang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang melonjak hingga Rp1.300 triliun dalam empat tahun terakhir merupakan gejala krisis utang yang serius dan kondisi yang berbahaya bagi keuangan negara.
"Catatan sy (saya) yg menyoroti terkait melonjaknya utang BUMN hingga Rp1.300 triliun dalam empat tahun terakhir. BUMN kita sedang berada di ambang krisis utang yang serius," tulisnya dalam akun Twitter @fadlizon, Kamis (7/6).
Sebagai gambaran, jelasnya, total utang BUMN saat ini mencapai Rp4.825 triliun atau naik Rp1.337 triliun dibandingkan catatan utang pada 2014 yang sebesar Rp3.488 triliun. Kalau diperhatikan, lanjutnya, lonjakan utang sektor publik sejak 2014 disebabkan lonjakan utang BUMN.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia mengungkapkan terdapat dua masalah terkait utang BUMN.
Pertama, sebagian besar utang merupakan utang jangka pendek. Hal ini berbahaya di tengah kontraksi ekonomi global dan domestik.
Kedua, sekitar 60 persen utang berbentuk valuta asing yang rentan terhadap fluktuasi nilai tukar rupiah. Jika nilai tukar rupiah melemah, BUMN tentu akan semakin membengkak.
Meski total aset BUMN naik menjadi Rp7.212 triliun pada akhir 2017 dengan angka utang Rp4.825 triliun, rasio utang BUMN sudah mencapai 67 persen aset. Celakanya, Kementerian BUMN menargetkan untuk menambah utang hingga Rp5.253 triliun sepanjang 2018.
Dalam tiga tahun terakhir, utang BUMN Karya meningkat signifikan. Sebut saja PT Waskita Karya Tbk, PT Wijaya Karya Tbk, PT Adhi Karya Tbk, dan PT Pembangunan Perumahan Tbk.
Neraca keuangan BUMN sektor konstruksi dan kelistrikan memburuk sesudah terlibat dalam berbagai proyek infrastruktur pemerintah.
Untuk menyeimbangkan neraca keuangan, Fadli mengungkapkan sejumlah BUMN, terutama yang bergerak di bidang energi dan infrastruktur, terancam harus menghentikan investasi dalam lima tahun ke depan.
"Kami sudah mengingatkan sejak awal bahwa pembangunan infrastruktur yang dilakukan saat perekonomian sedang lesu dan negara tak punya uang sangatlah berbahaya," katanya.
Namun, presiden berdalih bahwa pembangunan infrastruktur tak akan membebani APBN. Kenyataannya, pembangunan yang telah dibiayai oleh utang BUMN pasti akan kembali lagi ke APBN.
"Akibat perencanaan pemerintah yang ceroboh, saat ini kita telah masuk dalam jebakan utang yang sangat berbahaya," ujarnya.
Menurut dia, seluruh krisis ekonomi yang ternah terjadi selalu terkait dengan utang, seperti halnya krisis moneter 1997-1998 yang terjadi karena akumulasi utang pascaliberalisasi sektor keuangan dan krisis utang di Amerika Latin pada 1980-an yang disebabkan ekspansi fiskal dan akumulasi utang pemerintah yang berlebihan.
Dalam kesempatan berbeda, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut total utang Indonesia yang mencapai Rp4.180 triliun hingga akhir April 2018 masih berada di bawah batas aman.
Dengan asumsi Produk Domestik Bruto (PDB) tahun ini sebesar Rp14 ribu triliun, batas aman utang Indonesia sesuai Undang-Undang (UU) mencapai Rp8.400 triliun.
"Sekarang utang kita sekitar Rp4.000 triliun," ujar Sri Mulyani beberapa waktu lalu.
Sri Mulyani menyebut sesuai UU terkait keuangan negara, batas aman utang Indonesia maksimal 60 persen terhadap PDB. Ia menyayangkan pernyataan sejumlah pihak yang terus memojokkan posisi utang Indonesia saat ini.
"Utang ini juga bukan seenaknya Menteri Keuangan, semua sudah diatur dalam undang-undang," katanya.
Sri Mulyani menjelaskan bahwa utang masa lalu Indonesia sebenarnya telah dibayarkan. Namun, terdapat utang baru yang dibutuhkan untuk pembangunan.
Sri Mulyani berharap aktivitas penarikan utang pemerintah tidak dijadikan alat politik untuk menyerang pemerintah. Pemerintah memang menarik utang untuk menambal defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), namun ia jamin bahwa pengelolaannya dilakukan secara profesional.
Ia menuturkan, Kemenkeu sudah mengkalkulasi kemampuan membayar kembali utang-utang tersebut dan melakukan diversifikasi atas jatuh tempo masing-masing portfolio utang.
Hal ini dimaksudkan agar APBN tak begitu terbebani dengan kewajiban membayar utang yang besar di waktu yang bersamaan.
(lav/bir)