Jakarta, CNN Indonesia -- Teti, pedagang sembako di Pasar Palmerah, Jakarta Selatan mengaku heran dengan fenomena
belanja masyarakat dan kondisi ekonomi belakangan ini. Ada siklus yang tak biasa, katanya.
"Anehnya, harga sembako rasanya stabil saja, tapi yang beli semakin sedikit. Semakin sedikit juga yang dibeli," ucapnya saat berbincang dengan
CNNIndonesia.com, Senin (11/6).
Ia bilang, biasanya pelanggan, yang mayoritas dari kalangan ibu-ibu rumah tangga, berbelanja 3-5 kilogram (kg) beras dalam seminggu. Belakangan, pelanggannya hanya membeli 1-2 kg beras.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal tersebut juga terjadi pada telur ayam. Menurut dia, biasanya satu pelanggan bisa membeli minimal 1 kg. Namun, saat ini rata-rata pelanggan hanya membeli setengah kg telur.
Tak hanya dari jumlah pembelian, frekuensinya pun berkurang. Ia mencontohkan, pelanggan yang biasanya berbelanja seminggu dua kali, kini hanya satu kali.
"Meski kalau yang langganan, misalnya, tukang nasi goreng sama 'mba warteg', itu masih beli tiap hari sih, tapi yang ibu-ibu jadi kadang-kadang saja," celetuknya.
Walhasil, jumlah pembelian yang berkurang membuat omzetnya menurun pada bulan Ramadan kali ini dibandingkan Ramadan tahun-tahun sebelumnya. Tahun ini, menurut dia, omzetnya per hari hanya mencapai sekitar Rp2,5 juta atau hanya setengah tahun-tahun sebelumnya yang bisa mencapai Rp5 juta per bulan.
"Jadi kira-kira turun 50 persen, ini besar turunnya bagi saya. Biasanya tidak begini," ucapnya
Padahal, menurut perempuan berusia 60 tahun itu, harga sembako yang dijualnya terbilang stabil. Ia mencontohkan, meski sempat beredar harga beras tinggi sebelum masa Ramadan, harga beras yang ia jual tak banyak bergerak.
Ia menyebut beras medium saat ini dibanderolnya dengan harga Rp9-10 ribu per kg. Sedangkan beras premium sekitar Rp12-13 ribu per kg.
"Bahkan memasuki puasa, ini pada turun Rp500 per kg lah kira-kira. Jadi harusnya ini tidak berat di kantong, beda sama tahun sebelumnya. Dulu beras memang mahal, tapi perasaan masih ramai yang beli," keluhnya.
Tak hanya Teti, Sri Suryani juga mengeluhkan hal yang sama. Pedagang sayur mayur di Pasar Gondangdia, Jakarta Pusat itu bilang, omzetnya turun sekitar 25 persen.
Biasanya saat Ramadan, ia mampu mengantongi Rp2 juta per hari. Namun, kini hanya sekitar Rp1,5 juta per hari.
"Apalagi sekarang langganan saya sudah pada pulang kampung. Padahal 2-3 tahun lalu, biasanya sampai seminggu sebelum Lebaran, masih ada saja yang beli dan harganya cenderung naik, sekarang malah harga stabil tidak ada yang beli," kisahnya.
Ia merinci, beberapa komoditas pangan yang stabil selama Ramadan, yaitu tomat sekitar Rp12 ribu per kg dan kentang Rp16 ribu per kg. Lalu, cabai merah Rp35 ribu per kg, cabai rawit merah Rp35 ribu per kg, dan cabai rawit hijau Rp30 ribu per kg.
"Memang (cabai) ini sempat naik jadi sekitar Rp40 ribuan pas mau puasa, tapi begitu masuk puasa, stabil kok," imbuhnya.
 Harga cabai yang biasanya membumbung menjelang Lebaran terpantau stabil. (CNN Indonesia/Safir Makki) |
Abdullah Mansuri, Ketua Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi) bilang, curhatan hati Teti dan Sri Suryani merefleksikan nasib kebanyakan pedagang di Tanah Air saat ini. Menurutnya, rata-rata pedagang pangan mengalami penurunan omzet sekitar 30-50 persen pada Ramadan tahun ini.
Ia menduga, daya beli masyarakat yang rendah menjadi biang keladi dari penurunan omzet di saat harga pangan justru relatif stabil. "Rasanya memang daya beli masyarakat ini belum pulih. Ekonominya melemah dan pendapatan masyarakat tak semua lari ke konsumsi," katanya.
Menurutnya, daya beli yang rendah ini, membuat masyarakat menahan belanjanya, bahkan hingga ke barang konsumsi sehari-hari. Hal ini juga terbukti dari harga pangan yang stabil. Baginya, harga pangan ini berbeda dari pola musiman yang biasanya terjadi saat Ramadan dan Lebaran.
"Kalau dulu kan biasanya 1-2 bulan sebelum puasa, harga tinggi. Pas puasa bisa lebih tinggi. Sekarang malah relatif stabil saja," jelasnya.
Mohammad Faisal, Ekonom dari Centers of Reform on Economics (CORE) melihat penurunan omzet pedagang pasar memang masih disebabkan oleh rendahnya daya beli masyarakat, meski harga pangan relatif stabil.
Menurut dia, daya beli masyarakat tak hanya bergantung pada stabilnya harga pangan, tetapi juga bergantung pada faktor pendapatan masyarakat.
Berdasarkan data kemiskinan, sambungnya, terlihat bahwa penduduk miskin berkurang 1,19 juta orang pada Maret 2018 dari posisi Maret 2017. Hanya saja, bila ditelusuri, penurunan penduduk miskin, sekitar 800 ribu orang berada di pedesaan. Artinya, hanya 400 ribu penduduk miskin perkotaan yang berkurang.
"Ini menunjukkan bahwa perbaikan pendapatan masyarakat masih terpusat di pedesaan. Terlihat pula dari program yang dilakukan pemerintah, misalnya dana desa dan padat karya tunai, itu fokusnya ke pedesaan, tapi yang di perkotaan masih minim insentif," katanya.
Daya beli yang masih lemah, menurut dia, juga terlihat dari pendapatan buruh. Ia menyebut pendapatan riil buruh bangunan dan industri yang banyak di perkotaan justru turun. Berbeda dengan buruh pertanian yang lebih membaik.
Kemudian, masih soal pendapatan, lapangan kerja pun masih lebih banyak diciptakan di desa. Sedangkan di perkotaan, peningkatan peluang kerja justru berorientasi paruh waktu dengan pendapatan yang cenderung pas-pasan.
"Misalnya ojek
online, itu memang penciptaan lapangan kerja, tapi jamnya sebenarnya paruh waktu. Kalau mereka mau dapat pendapatan besar, ujungnya harus kerja
overtime," terangnya.
Di sisi lain, menurut dia, penanganan inflasi juga tak secara struktural. Alih-alih mendorong produksi, pemerintah memilih cara instan dengan mengimpor komoditas pangan.
"Ini juga (harga pangan stabil) karena lebih banyak impor. Kebijakan impor menjadi hal yang lebih mudah diambil pemerintah," katanya.
Untuk itu, kata Faisal, pemerintah masih perlu meracik insentif dan kebijakan yang bisa meningkatkan sisi pendapatan masyarakat perkotaan. Dengan begitu, inflasi rendah dan harga pangan yang stabil benar-benar bisa dimanfaatkan untuk menggerakkan ekonomi.
Selain karena daya beli, faktor lain yang membuat omzet pedagang pasar turun pada Ramadan kali ini, diduganya karena ada masalah persaingan dengan pasar modern. Sebab, dalam catatannya, penjualan ritel, motor, dan mobil sudah membaik dari tahun kemarin, meski masih rendah dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
"Jadi mungkin ada faktor pergeseran karena bersaing dengan pasar modern. Orang jadi cenderung beli di pasar modern ketimbang pasar tradisional," pungkasnya.
(agi/agi)