Jakarta, CNN Indonesia -- Awan gelap yang menyelimuti dunia usaha perlahan bergeser. Harapan agar
konsumsi masyarakat menggeliat jelang hari raya
Lebaran 2018 semakin terbuka.
Direktur Eksekutif Nielsen Company Indonesia Yongky Susilo mengungkap konsumsi rumah tangga Lebaran tahun ini berpotensi lebih baik dari tahun lalu. Hal itu tidak terlepas dari kebijakan pemerintah yang memang berniat mendongkrak konsumsi masyarakat.
Salah satunya, pemerintah menggelontorkan bantuan sosial untuk mengerek konsumsi masyarakat golongan menengah ke bawah. Penerima Program Keluarga Harapan (PKH), misalnya dipatok sebanyak 10 juta Kepala Keluarga (KK) dari sebelumnya hanya 6 juta KK.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tak tanggung-tanggung, data Kementerian Keuangan menyebut belanja sosial pemerintah hingga April 2018 mencapai Rp30,7 triliun atua 57,3 persen dari pagu anggaran tahun ini.
Seiring dengan banyaknya duit yang mengalir untuk bantuan sosial tersebut, konsumsi masyarakat golongan menengah ke bawah diyakini membaik. Hal itu tercermin dari peningkatan penjualan toko-toko tradisional dan swalayan pada April dan Mei.
Konsumsi masyarakat pada kuartal kedua ini juga diyakini masih berlanjut, terutama setelah Presiden Joko Widodo meneken aturan Tunjangan Hari Raya (THR) untuk Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan pensiunan.
Anggaran THR pun tak main-main, sebesar Rp35,76 triliun. Artinya, terjadi peningkatan pada jumlah THR yang diterima PNS. Kementerian Keuangan menyebut peningkatan penerimaan THR para abdi negara mencapai 69 persen.
Makanya, Yongky optimistis pertumbuhan konsumsi masyarakat tahun ini bakal membaik. "Saya yakin, pertumbuhan konsumsi untuk kuartal kedua lebih baik dari kuartal sebelumnya," ujarnya, belum lama ini.
Membaiknya konsumsi masyarakat ini tentu akan berdampak ke kinerja sektor ritel. Setelah tahun lalu cuma meraup pertumbuhan 5 persen, ia percaya pertumbuhan ritel tahun ini bisa mencapai double digit ke 15 sampai 20 persen.
Faktor lain yang mendongkrak peningkatan konsumsi pada kuartal kedua, yakni Lebaran 2018 jatuh pada Juni. Berbeda dengan tahun sebelumnya, perayaan Lebaran jatuh pada Juli atau memasuki kuartal ketiga.
"Di akhir tahun nanti, sebetulnya, pemerintah masih memiliki harapan untuk membuat pertumbuhan konsumsi menjadi 6 persen. Tujuannya, yaitu agar pertumbuhan ekonomi tahun ini bisa mencapai 5,2 persen-5,3 persen," terang dia.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listiyanto juga berpendapat bahwa konsumsi pada kuartal kedua ini juga akan membaik dibandingkan tahun lalu. Namun, ia sepakat, faktor musiman seperti Idul Fitri dan kebijakan anggaran pemerintah yang mendorong geliat konsumsi.
Selain itu, berkaca pada survei konsumen Bank Indonesia April 2018 yang menunjukkan bahwa indeks keyakinan konsumen yang berada pada posisi 122,2 atau naik 0,6 poin dari posisi bulan sebelumnya, yaitu sebesar 121,6.
"Jika konsumen semakin optimis, maka pertumbuhan konsumsi di kuartal II ini bisa saja lebih besar dari 5 persen," imbuh Eko.
Hanya saja, patut diingat, proyeksi pertumbuhan konsumsi yang moncer bisa terhalang oleh depresiasi rupiah. Sebab, depresiasi bisa bikin harga kebutuhan impor melejit, utamanya bahan pangan.
Jika kebutuhan primer golongan masyarakat berpendapatan rendah tidak baik, maka mereka juga tidak bisa melanjutkan konsumsi untuk kebutuhan sekunder.
 Ilustrasi konsumsi masyarakat. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A). |
Terlebih, depresiasi rupiah di tahun ini cukup dalam. Data kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dolar Rate (JISDOR) menunjukkan bahwa nilai tukar rupiah keok 3,62 persen terhadap dolar dalam lima bulan terakhir. Padahal, pada periode sama tahun sebelumnya, rupiah menguat 1,11 persen terhadap dolar.
"Kalau melihat faktor yang mendominasi konsumsi, saya rasa yang dominan ya kurs di situ. Tekanan yang meningkat membuat pertimbangan konsumen. Namun, secara keseluruhan, pertumbuhan konsumsi pada kuartal II ini lebih optimistis," jelasnya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) kuartal III 2017, pertumbuhan konsumsi rumah tangga hanya 4,93 persen secara tahunan. Bahkan, angka ini lebih rendah ketimbang kuartal sebelumnya yang mencapai 5,01 persen secara tahunan.
Padahal di kuartal yang sama tahun sebelumnya, pertumbuhan konsumsi rumah tangga tercatat 5,02 persen yang juga menopang pertumbuhan ekonomi 5,02 persen secara tahunan. Sehinngga, ada ketakutan konsumsi rumah tangga di hari raya Idul Fitri tak secemerlang tahun lalu.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Mandey menyebut dua faktor yang membuat konsumsi secara umum melorot di tahun lalu.
Pertama, minimnya lapangan kerja yang tersedia.
Menurut dia, jumlah penduduk yang memasuki angkatan kerja lebih besar ketimbang jumlah lapangan pekerjaan. Sehingga, populasi produktif memiliki pendapatan yang cukup untuk konsumsi.
Kedua, ia juga menyebut perubahan konsumsi masyarakat sebagai biang keladi lesunya penjualan ritel di tahun lalu. Di lapisan kelas menengah ke atas, contohnya, kini lebih banyak menghabiskan uangnya untuk kegiatan mengisi waktu luang (leisure).
Ditambah lagi, kecenderungan masyarakat menggunakan sebagian pendapatannya untuk menabung. Ini terlihat dari data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada Juli 2017 yang bertumbuh 9,75 persen ke Rp5.032,68 triliun dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, yaitu Rp4.585,38 triliun.
(bir)