Jakarta, CNN Indonesia -- Bank sentral
Jepang, Bank of Japan (BoJ), memangkas proyeksi inflasinya demi mempertahankan pelonggaran moneter. Kebijakan itu mempertegas padangan bahwa ekonomi Jepang akan tertinggal jauh dari rekan-rekannya AS dan Uni Eropa.
Pada April 2018 lalu, inflasi Jepang tercatat sebesar 0,7 persen atau jauh dari target inflasi di sepanjang tahun yang sebesar dua persen.
Gubernur BoJ Haruhiko Kuroda memperkirakan meningkatnya produktivitas sektor jasa akan menahan laju inflasi. Ekonomi Jepang melihat bursa tenaga kerja semakin ketat, dan kesenjangan semakin meningkat, tetapi harga tidak naik banyak.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Karenanya, paling tepat adalah sabar mempertahankan pelonggaran moneter yang kuat," ujarnya mengutip Reuters, Jumat (15/6).
Sesuai ekspektasi, bank sentral Jepang mempertahankan suku bunga jangka pendeknya pada level minus 0,1 persen. Tak cuma itu, BoJ juga mengimbau pemerintah memberikan imbal hasil nol persen untuk surat utang berjangka 10 tahun yang diterbitkannya.
Kebijakan Jepang tersebut bertolak belakang dengan keputusan bank sentral Eropa (ECB) yang menghentikan pembelian obligasi pada tahun ini. Adapun, pengambilan kebijakan itu diambil demi menangkal krisis keuangan seperti yang terjadi pada 2007-2009 lalu.
Kuroda mengaku wajar bila arah kebijakan BoJ menyimpang dari The Federal Reserve dan ECB, mengingat sulitnya defisiensi Jepang.
"Setiap negara harus memilih kebijakan moneter terbaiknya, mengingat kondisi ekonomi dan harga," imbuh dia.
Izuru Kato, Ekonom Total Research menilai kebijakan pelongaran moneter BoJ tidak akan mampu mencapai target inflasi dua persen.
"The Fed dan ECB bergerak secara fleksibel untuk memperbaiki stimulus moneter yang berlebihan, karena ekonomi mereka berkembang. Tetapi, BoJ kurang fleksibilitas," ucap Kato.
(bir)