Jakarta, CNN Indonesia -- Setelah mengibarkan
perang dagang dengan China, kini pemerintah
Amerika Serikat berencana untuk membatasi investasi
China di perusahaan-perusahaan teknologi AS.
Mengutip
Reuters, Senin (25/6), Departemen Keuangan AS tengah merancang larangan perusahaan-perusahaan yang 25 persen sahamnya dimiliki oleh China agar tidak bisa memarkirkan dananya di perusahaan-perusahaan AS yang bergerak di sektor teknologi.
Rencana pembatasan investasi ini masih mungkin berubah sebelum diumumkan pada akhir pekan nanti. Namun demikian, tetap saja, akan menghambat kampanye 'Made in China 2025' yang digaungkan China.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kampanye itu menargetkan untuk meningkatkan kemampuan China di bidang informasi, teknologi, antariksa, teknik kelautan, farmasi, kendaraan modern, robot, dan industri berbasis teknologi tinggi lainnya.
Juru Bicara Departemen Keuangan AS enggan mengomentari kabar tersebut. Perwakilan pemerintah hanya menuturkan bahwa Departemen Keuangan AS akan mengacu pada International Emergency Economic Power Act of 1977 (IEEPA) demi mempermudah penerapan kebijakan pembatasan investasi.
Payung hukum itu memberi kewenangan bagi presiden untuk membatasi aset berdasarkan keamanan nasional. IEEPA sendiri menjadi acuan kebijakan investasi AS setelah serangan 9/11 pada 2001 silam untuk memotong pendanaan bagi jaringan teroris.
Namun, laporan The Wall Street Journal yang dikutip dari
Reuters menyebut pemerintah hanya akan memberi batasan bagi investasi baru dan tidak akan berlaku surut bagi investasi yang sudah ada. Tak hanya itu, rencana batasan tersebut juga tidak akan membedakan ekspansi yang dilakukan perusahaan BUMN China atau badan usaha swasta China.
Langkah ini menandakan babak baru konflik dagang antara pemerintahan Presiden AS Donald Trump dengan China yang mengancam pasar modal dan menghantui pertumbuhan ekonomi global.
Pengenaan bea masuk bagi produk China senilai US$34 miliar yang akan diberlakukan 6 Juli mendatang juga dianggap sebagai balasan kepada China yang menyalahgunakan teknologi AS melalui aturan perusahaan patungan (
joint venture) dan aturan lainnya.
Oleh karenanya, The Wall Street Journal juga mengatakan Departemen Perdagangan AS dan Badan Keamanan Nasional AS tengah menyusun kebijakan pengendalian ekspor ke China, utamanya mengendalikan ekspor teknologi ke negara tirai bambu itu.
(bir)