Jakarta, CNN Indonesia --
Badan Pusat Statistik (BPS) menilai
perang dagang yang diserukan oleh Amerika Serikat (AS) ke sejumlah negara, seperti China, Uni Eropa, dan negara lainnya belum berdampak ke Indonesia. Hal ini terlihat dari ekspor yang tetap tumbuh positif ke negara-negara tersebut.
Kepala BPS Suhariyanto mengatakan ekspor dari Indonesia ke AS tumbuh 10,03 persen menjadi US$1,57 miliar pada Mei 2018. "Ini didorong oleh produk hasil rajutan, kayu, dan timah," ujarnya di kantor BPS, Senin (25/6).
Lalu, ke China naik 15,37 persen menjadi US$2,09 miliar. Peningkatan ekspor didorong oleh bahan bakar mineral, besi, dan baja. Begitu juga ke Eropa, ekspor justru melejit 25,68 persen menjadi US$1,74 miliar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Justru barang yang dikenakan perang tarif oleh AS, ekspornya masih bagus ke China. Jadi kalau dilihat belum ada dampaknya," katanya.
Dampak perang dagang terhadap Indonesia, menurut dia, kemungkinan baru akan terlihat beberapa bulan setelah tarif perang dagang diberlakukan oleh masing-masing negara. Namun, ia enggan memberi proyeksi lebih jauh.
"Tapi kami harapkan dapat segera berakhir perang dagang itu. Kalau tidak, nanti bisa merugi perusahaan-perusahaan itu," jelasnya.
Di sisi lain, ia melihat bahwa tren defisit karena nilai impor yang lebih tinggi masih bisa terjadi dalam beberapa bulan ke depan. Pasalnya, harga komoditas di pasar dunia masih penuh ketidakpastian.
"Harga komoditas ini sebenarnya juga meningkatkan ekspor, tapi jumlahnya tertelan oleh nilai impor yang justru lebih tinggi. Jadi, mungkin beberapa bulan ke depan masih ada tekanan," terang dia.
Hanya saja, dengan tekanan nilai impor yang masih berpeluang lebih tinggi, pemerintah perlu serius membenahi sektor ekspor. Tujuannya, agar neraca perdagangan Indonesia tak terus-menerus dirundung defisit.
"Misalnya, memberikan insentif ke industri yang berorientasi ekspor, menyederhanakan perizinan, biaya transportasi, dan lainnya," tandasnya.
Pada Mei 2018, BPS mencatat neraca perdagangan mengalami defisit US$1,52 miliar. Hal ini karena nilai impor mencapai US$17,64 miliar. Sedangkan ekspor hanya US$16,12 miliar.
Sementara pada perang dagang, AS dan China terus berbalas tarif. Tarif balasan China terhadap sekitar 1.000 produk AS akan diberlakukan pada 6 Juli mendatang.
(agi/bir)