Jakarta, CNN Indonesia --
Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) menegaskan perusahaan yang mempekerjakan karyawannya saat libur nasional Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2018 pada Rabu (27/6) wajib memberikan uang lembur sebagai ganti libur.
Hal ini disampaikan Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri melalui Surat Edaran (SE) Menaker Nomor 3 Tahun 2018 tentang Hari Libur Bagi Pekerja/Buruh pada Hari Pemungutan Suara Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pekerja atau buruh yang bekerja pada hari pemungutan suara berhak atas upah kerja lembur dan hak-hak lainnya yang biasa diterima pada hari libur resmi sesuai ketentuan perundang-undangan," ujar Hanif, Selasa (26/6).
Menurutnya, hal ini berlaku pula untuk perusahaan di daerah-daerah yang tidak melaksanakan Pilkada. Selain itu, perusahaan juga perlu memberi waktu kepada karyawan untuk menggunakan hak pilihnya lebih dulu sebelum memulai waktu kerja.
FX Watratan, Kasubdit Pengawasan Norma Waktu Kerja, Waktu Istirahat, dan Pengupahan
Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) mengatakan ketentuan itu mengacu pada ketentuan Pasal 77 dan 78 Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
"Uang lembur ini menjadi kesepakatan antara pekerja dan perusahaan, mengingat hari istirahat justru dipakai untuk bekerja," ucap Franky, sapaan akrabnya, kepada
CNNIndonesia.com, Selasa (26/6).
Perhitungan uang lembur per jam pada hari libur resmi, seperti Pilkada besok, sebesar 1:173 dari gaji bulanan. Namun, ada pembeda besaran akhir uang lembur sesuai dengan jam kerja per hari pekerja.
Pertama, bagi pekerja yang bekerja selama enam hari atau 40 jam seminggu. Untuk pekerja yang bekerja tujuh jam sehari, upah per jam-nya dikali dua. Sedangkan yang bekerja delapan jam sehari, dikali tiga dan yang bekerja hingga sembilan jam per hari, dikali empat.
Contohnya, pekerja yang memiliki
gaji Rp5 juta per bulan dan bekerja tujuh jam pada hari libur, maka uang lembur yang diterima 1:173 dikali Rp5 juta dikali dua dikali tujuh jam. Hasilnya Rp404 ribu per hari.
Kedua, bagi pekerja yang bekerja selama lima hari atau 40 jam seminggu. Upah yang didapat per jam dikali dua bagi yang bekerja delapan jam. Lalu, yang bekerja sembilan dan sepuluh jam, masing-masing dikali tiga dan empat.
Misalnya, pekerja bergaji Rp5 juta per bulan dan bekerja delapan jam. Uang lembur yang diterima 1:173 dikali Rp5 juta dikali dua dikali delapan jam sama dengan Rp462 ribu per hari.
Bila pekerja tidak diberi libur dan uang lembur, pekerja dapat melaporkan hal ini ke Kemenaker atau Dinas Ketenagakerjaan (Disnaker) masing-masing wilayah pekerja. "Silakan dilaporkan," tekannya.
Beban Dunia UsahaDanang Girindrawardana, Ketua Bidang Kebijakan Publik Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengatakan pada dasarnya pengusaha tentu akan mengikuti keputusan pemerintah yang menetapkan hari penyelenggaraan Pilkada Serentak 2018 sebagai hari libur nasional.
Ketetapan itu diumumkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 15 Tahun 2018.
Walhasil, pengusaha meliburkan pekerja. Namun, asosiasi juga tak bisa melarang bila ada pengusaha yang tetap mempekerjakan karyawannya ketika Pilkada diadakan.
Sebab, untuk industri sektor tertentu memang mau tidak mau tetap perlu beroperasi demi mengejar target produksi. Maklum, jumlah hari libur pada bulan ini sudah terlalu banyak karena terpotong libur Lebaran 2018 yang diperpanjang pemerintah. Walhasil, hari kerja pada bulan ini hanya sekitar 12-14 hari.
"Khususnya untuk industri perkebunan, tekstil, otomotif, dan manufaktur lainnya. Kemungkinan mereka tetap beroperasi, tapi sebagai gantinya memberi uang lembur," katanya.
Namun, ia menilai hal ini bak buah simalakama bagi dunia usaha. Sebab, bila tidak meliburkan dan harus memberi uang lembur, jumlahnya dipastikan tidak sedikit. Apalagi bagi pabrik dengan ribuan pekerja. Sedangkan kalau memberi libur, produktivitas pabrik jadi berkurang.
Di sisi lain, ia menyayangkan kebiasaan pemerintah yang kerap membuat keputusan mendadak, seperti pada penetapan libur Lebaran dan Pilkada. Padahal, dua agenda itu sudah jauh-jauh hari ditetapkan.
"Concern-nya jangan suka mendadaklah, buatlah kebijakan yang lebih arif dan memikirkan semua sektor," celetuknya.
Lagipula, sambung Danang, pemerintah sebenarnya bisa memberikan keputusan libur hanya pada daerah-daerah yang menggelar Pilkada dan tak memberlakukan daerah yang hanya jadi 'penonton'.
Lebih lanjut, ia menilai pemberian libur sejatinya tak selalu berbanding lurus dengan jumlah pemilih yang menyumbangkan suaranya pada Pilkada. "Perlu dilihat lagi, apakah partisipasi masyarakat memilih itu meningkat karena libur atau tidak," pungkasnya.
(lav)