Jakarta, CNN Indonesia --
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan 46 dari 70 proyek pembangkit listrik
Energi Baru Terbarukan (EBT) terancam menjadi proyek mangkrak. Pasalnya, 46 proyek tersebut kesulitan mendapatkan sumber pendanaan untuk pembiayaan proyek.
Seperti diketahui, sepanjang tahun lalu terdapat 70 penandatanganan perjanjian jual-beli listrik (power purchase agreement/PPA) EBT antara PT PLN (Persero) dengan kontraktor swasta (independent power producer/IPP). Adapun kapasitas 70 pembangkit listrik EBT tersebut mencapai 1.214,16 Mega Watt (MW).
Namun, Direktur Aneka Energi Baru dan Terbarukan Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Harris mengatakan sebanyak 46 dari 70 proyek pembangkit listrik EBT belum mendapatkan komitmen pembiayaan akhir (
financial closing).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagian besar proyek yang belum financial closing itu, sambung dia, merupakan proyek EBT berkapasitas kecil atau dibawah 10 MW. Padahal, tiga proyek pembangkit lain sudah beroperasi secara komersial, sedangkan sisanya telah memasuki tahap konstruksi.
Makanya, Kementerian ESDM mengaku tengah berkoordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk membiayai proyek penyediaan listrik EBT.
"Untuk proyek EBT yang besar-besar umumnya bisa jalan sendiri untuk mendapatkan pembiayaan, tetapi untuk yang sifatnya kecil-kecil, mereka mendapat kesulitan untuk mendapatkan pembiayaan," ujar Harris, Kamis (28/6).
Menurut dia, kontraktor EBT dihadapkan dengan bunga tinggi jika meminta pembiayaan dari perbankan, sesuai kalkulasi risiko dari perbankan.
"Bank lokal kita mungkin belum begitu familiar dengan proyek-proyek energi terbarukan dan konservasi energi," katanya.
Sebenarnya, lanjut Harris, OJK telah memiliki program pembiayaan proyek ramah lingkungan (
green financing), dimana pembiayaan proyek EBT menjadi prioritas.
Kementerian ESDM juga telah memfasilitasi 46 kontraktor proyek untuk bertemu dengan OJK dan menyerahkan profil proyek EBT terkait. Namun, hingga kini, baru 13 perusahaan yang menyerahkan profil perusahaan dan proyek yang dibutuhkan.
Harris menduga hal itu disebabkan oleh belum dilunasinya jaminan sekitar 10 persen oleh kontraktor sebelum PPA terkait berlaku efektif. Jika tidak terjadi
financial closing hingga batas waktu tertentu, jaminan tersebut harus dicairkan.
"Sekarang kami mencoba untuk meminta lagi (profil proyek) karena ini penting bagi kami untuk dibicakan dengan OJK dan tim lain," tandasnya.
(bir)