Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah bakal segera membuat satuan tugas khusus demi merumuskan kebijakan
ekspor dan impor di tengah defisit
neraca perdagangan dan penyusutan
cadangan devisa.
Salah satu tugas satuan tersebut adalah menentukan jenis barang impor apa saja yang kemungkinan bisa diseleksi.
Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan langkah ini diperlukan demi menghadapi perkembangan global yang terjadi seperti kenaikan suku bunga acuan AS Fed Rate dan perang dagang yang juga dilakukan AS. Pasalnya, kebijakan tersebut sudah berdampak negatif bagi Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kenaikan suku bunga acuan Fed Rate menyebabkan arus modal keluar dan bikin rupiah terdepresiasi. Data kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) menunjukkan bahwa rupiah sudah melemah 6,4 persen sejak awal tahun hingga hari ini.
Sementara itu, depresiasi rupiah bikin nilai impor Indonesia jadi meningkat. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, nilai impor Indonesia meningkat 24,75 persen dari US$62,34 miliar pada Januari hingga Mei 2017 ke angka US$77,77 miliar di tahun ini.
Ujung-ujungnya, Indonesia mengalami defisit neraca perdagangan sebesar US$2,83 miliar dalam lima bulan pertama tahun ini. "Kalau impornya yang bisa agak diperlambat yang mana saja. Nah, nanti akan ada rapat lagi lebih luas, dan kami akan bentuk satuan tugas untuk merumuskan lebih persis apa saja yang perlu dilakukan," kata Darmin di kantornya, Jumat (6/7).
Selain menyeleksi impor, satuan tugas ini bertugas mempercepat kenaikan ekspor. Untuk itu, Darmin bilang akan lebih giat melakukan rapat dengan instansi-instansi terkait di kantornya.
Ia bercerita, pekan ini dirinya fokus dalam merumuskan penguatan kebijakan ekspor dan impor di industri manufaktur. Sementara pekan depan, ia akan fokus ke sektor Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan pertanian.
"Sehingga dalam waktu tidak lama, kami ingin supaya neraca dagang defisitnya mengecil dan bisa kami ubah menjadi positif," jelas dia.
Menurut dia, tentu kebijakan seleksi impor bisa membatasi pertumbuhan ekonomi. Makanya, ia berharap kualifikasi barang-barang impornya bisa lebih ketat. Jangan sampai, barang modal dan bahan baku industri vital kena seleksi impor sehingga industri dalam negeri tidak berjalan dan investasi terhambat.
Menurutnya, salah satu impor yang perlu ditinjau ulang adalah impor minyak dan gas bumi. Ini lantaran harga minyak dunia yang naik serta melemahnya nilai tukar rupiah terhadap AS.
Data BPS juga menunjukkan bahwa impor migas sepanjang Januari hingga Mei tercatat US$11,88 miliar atau naik dibanding tahun sebelumnya US$10,02 miliar. Sehingga, menurut pendapatnya, impor migas harus diperlambat agar tak berdampak buruk ke neraca perdagangan.
"Tapi, migas ini mau dikategorikan sebagai apa? Padahal migas ini yang bikin negatif neraca perdagangan. Lalu bagaimana caranya diperlambat? Ya bisa macam-macam, mungkin dari (campuran) biodiesel dinaikkan," jelas dia.
Darmin melanjutkan, kebijakan ekspor dan impor ini perlu segera diselesaikan agar transaksi neraca berjalan tak bikin berat neraca pembayaran, sehingga cadangan devisa bisa terus aman.
"Karena tekanan terhadap mata uang selain karena perang dagang dan kenaikan bunga AS, itu juga datang dari neraca dagang yang negatif," jelas dia.
(agi/agt)