Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah berencana mengubah penyaluran
subsidi Liquified Petroleum Gas (LPG) atau elpiji
tabung tiga kilogram (kg). Perubahan dilakukan karena penyaluran subsidi dengan skema terbuka seperti yang diterapkan sekarang dianggap belum tepat sasaran.
Maklum, skema penyaluran subsidi yang diterapkan ini tidak bisa digunakan untuk memilah pembeli dari golongan rumah tangga masyarakat mampu dan tidak mampu.
Karena kelemahan tersebut, peluang kebocoran besar. Elpiji tiga kg atau elpiji melon sering terlihat digunakan oleh golongan masyarakat mampu dan bahkan industri besar, seperti restoran atau hotel.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Masalah ini tidak boleh dibiarkan. Pasalnya, anggaran yang digelontorkan untuk subsidi elpiji selama ini cukup menguras APBN.
Tahun ini saja, pemerintah menggelontorkan anggaran Rp41,53 triliun untuk subsidi elpiji tiga kg, turun tipis dari anggaran tahun lalu Rp41,57 triliun.
Dengan anggaran tersebut, mutlak penyaluran subsidi tidak boleh dibiarkan seperti sekarang ini.
Pemerintah sebenarnya sudah memiliki rencana untuk memperbaiki skema penyaluran subsidi elpiji. Mereka sudah mengusulkan dua skema perbaikan penyaluran subsidi elpiji kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Pertama, penyaluran dilakukan secara tertutup yang dilakukan dengan melengkapi setiap tabung dengan kode baris (barcode) yang tersambung dengan sistem informasi dan teknologi agar bisa dicocokan dengan kode masyarakat penerima subsidi.
Kedua, mengintegrasikan penyaluran subsidi elpiji dengan bantuan sosial lain; Program Keluarga Harapan (PKH) atau Program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT).
Nah, untuk melaksanakan dua skema skema tersebut juga tidak mudah. Pemerintah harus punya data valid soal identitas dan jumlah masyarakat dari golongan tidak mampu yang berhak menerima subsidi.
Sekretaris Eksekutif Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) Bambang Widianto mengatakan data valid itu sudah dipegang pemerintah. Walaupun demikian, data itu disebut belum cukup.
Pemerintah perlu strategi agar perubahan skema penyaluran subsidi tidak menimbulkan gejolak di masyarakat. Konsumen elpiji tiga kg bersubsidi saat ini diperkirakan mencapai 50 juta orang dari lintas golongan pendapatan.
Di sisi lain, penduduk berpenghasilan empat puluh persen terbawah atau golongan masyarakat miskin dan rentan miskin jumlahnya sekitar 25 juta orang. Jika lebih dikerucutkan, penduduk dua puluh lima persen terbawah jumlahnya hanya 15 juta orang di mana hanya separuhnya yang bisa mengakses bantuan secara non tunai melalui fasilitas perbankan.
"Dengan kondisi tersebut kalau subsidi mau disalurkan hanya untuk orang miskin saja, akan banyak orang yang tadinya bisa membeli elpiji subsidi menjadi tidak lagi bisa membeli. Ini akan menimbulkan gejolak," kata Bambang kepada CNNIndonesia.com, Rabu (11/7).
Bambang mengatakan agar gejolak tidak terjadi, pemerintah perlu merubah skema penyaluran subsidi elpiji secara bertahap.
Untuk tahap awal misalnya, pentahapan bisa dilakukan pemerintah dengan menetapkan pemegang Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) sebagai penerima subsidi elpiji. Dalam satu bulan, pemegang KKS akan mendapatkan bantuan subsidi elpiji dalam bentuk non tunai untuk membeli LPG yang dijual dengan harga pasar.
Cara ini dapat menekan risiko penyalahgunaan seperti pengoplosan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab jika di pasar terdapat dua harga elpiji tiga kg.
Setelah cara tersebut berhasil, naikkan sasaran penerima subsidi.
Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengatakan penyaluran subsidi yang optimal harus disesuaikan dengan karakteristik barang di pasar.
Penyaluran subsidi tepat sasaran untuk elpiji tiga kg menjadi relevan mengingat cakupan penggunaan produk yang langsung ke rumah tangga. Hal itu berbeda dengan Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Solar yang penggunanya terbatas di sektor transportasi.
Karenanya, lanjut Komaidi, pemerintah perlu memastikan data penduduk yang berhak menerima subsidi LPG. Sayangnya, saat ini beberapa instansi memiliki data penduduk miskin yang belum seragam seperti TNP2K, BPS, dan Kementerian Sosial.
Senada dengan Bambang, Komaidi menilai penyaluran subsidi elpiji langsung kepada mereka yang berhak lebih ideal dibandingkan membedakan produk elpiji bersubsidi dan non subsidi.
Dengan metode tersebut penjual elpiji tabung tiga kg tinggal dilengkapi dengan sistem dan alat yang terkoneksi dengan kartu subsidi untuk pembayaran.
"Jadi, elpiji tetap satu harga," ujarnya.
Agar ke depan permasalahan elpiji dan subsidinya tidak berlarut-larut, pemerintah perlu mulai memikirkan untuk memperbanyak infrastruktur jaringan gas. Dari sisi biaya, harga gas yang dijual jaringan gas relatif lebih murah dibandingkan harga jual gas tabung.
Sebagai gambaran, sesuai Surat Keputusan BPH Migas Nomor 107/RTPK/BPH Migas/Kom/VIII/2007 tertanggal 21 Agustus 2007, harga gas golongan Rumah Susun, Rumah Sederhana, Rumah Sangat Sederhana, dan sejenisnya (RT-1) yang disalurkan PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Tbk lewat jargas untuk Wilayah Jaringan Distribusi (WJD) Jakarta adalah Rp2.618 per meter kubik dan Rumah Menengah, Rumah Mewah, Apartemen, dan sejenisnya (RT-2) Rp3.141 per meter kubik.
Sementara, harga jual LPG tabung tanpa subsidi ada di kisaran Rp8.000 hingga Rp9.000 per kg.
(agt/bir)