Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah Indonesia dan
Freeport-McMoran Inc telah menandatangani Perjanjian Pendahuluan atau Head of Agreement (HoA) terkait proses peralihan sebagian saham PT Freeport Indonesia. Melalui kesepakatan awal ini, jalan pemerintah mengempit 51 persen saham Freeport Indonesia semakin terbuka lebar.
Namun, jalan yang terbuka lebar bukan berarti tanpa kerikil. Sebab, masih panjang daftar kesepakatan yang harus dipenuhi oleh masing-masing pihak sebelum merengkuh kembali Freeport Indonesia.
Bahkan, Ekonom Senior Indef Dradjad Wibowo menegaskan sebetulnya pemerintah belum merebut kembali Freeport Indonesia, mengingat transaksi kedua pihak belum terealisasi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Apa yang sudah disepakati? Jawabnya lebih pada soal harga. Tiga pihak, yakni Indonesia, terdiri dari pemerintah dan PT Inalum (Persero), Freeport-McMoran Inc, dan Rio Tinto, sepakat pada harga US$3,85 miliar atau sekitar Rp55 triliun (untuk divestasi saham Freeport)," ujarnya, Jumat (13/7).
Harga itu merupakan harga bagi pelepasan hak partisipasi Rio Tinto beserta saham Freeport-McMoran di Freeport Indonesia. Keterlibatan Rio Tinto dalam negosiasi tak terlepas dari hak partisipasi (
Participating Interest/PI) perusahaan atas 40 persen produksi di tambang Grasberg hingga 2021 nanti.
"Apakah Freeport sudah direbut kembali, seperti klaim bombastis yang beredar? Belum! Transaksi ini masih jauh dari tuntas, karena Freeport-McMoran dan Rio Tinto menyebut masih ada isu-isu besar yang belum disepakati. Jadi, masih belum ada kepastian bahwa transaksinya akan tuntas," imbuh dia.
Dalam kutipan berita di
Bloomberg, seperti disampaikan Dradjad, Freeport menyebutkan isu besar yang dimaksud, yakni hak jangka panjang Freeport-McMoran pada Freeport Indonesia hingga 2041 mendatang.
Selain itu, butir-butir yang menjamin sang induk Freeport untuk tetap memegang kendali operasional anak usahanya tersebut, meskipun tidak memegang saham mayoritas, serta kesepakatan tentang isu lingkungan hidup, termasuk limbah
tailing.
Persoalannya, di tengah isu-isu besar tersebut, justru tercapai kesepakatan harga.
"Kuat dugaan saya, ini tidak lepas dari fakta bahwa Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Sementara Freeport Indonesia habis pada 4 Juli 2018 dan diperpanjang hingga 31 Juli. Sejak 2017, IUPK ini sudah berkali-kali diperpanjang," katanya.
Senada, Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies Marwan Batubara menilai agaknya terlalu dini mengklaim kesuksesan Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) atas divestasi Freeport Indonesia. Bahkan, menurut dia, kesepakatan awal tak membuat posisi RI diuntungkan.
"Sebetulnya, mau dibilang progres juga tidak ada. Hati-hati malah kita masuk perangkap. Kenapa? Karena bicara kesepakatan, seharusnya menguntungkan kedua belah pihak, tetapi ini kan tidak bagi Indonesia. Lain cerita bagi Freeport, mereka mendapatkan jaminan lewat kesepakatan awal ini," terang dia.
Jaminan yang dimaksud, yakni terkait izin ekspor konsentrat sampai 31 Juli 2018 melalui perpanjangan IUPK Sementara, jaminan perpanjangan kontrak sampai 2041 mendatang, jaminan bayaran US$3,85 miliar atas transaksi divestasi Freeport Indonesia, dan jaminan stabilitas fiskal.
 Menteri ESDM Ignasius Jonan dan Menteri Keuangan Sri Mulyani bersama CEO Freeport-McMoran Richard Adkerson saat penandatanganan Perjanjian Pendahuluan, Kamis (12/7). (REUTERS/Darren Whiteside). |
Sementara, Marwan melanjutkan tidak ada jaminan
smelter (fasilitas pengolahan hasil tambang) bagi Indonesia. Tidak ada jaminan pemerintah sebagai pengendali operator tambang Grasberg, dan tidak ada jaminan ganti rugi atas kerusakan lingkungan yang disebabkan.
"Apa mereka (Freeport) bilang? Ini masih akan dinegosiasikan. Ini artinya, kita belum tentu mendapatkan tiga poin di atas. Faktanya, pembangunan
smelter kan mundur-mundur terus. Bersedia kah mereka memberi kita posisi sebagai pengendali? Apa jaminannya?" tegasnya.
Makanya, Marwan mempertanyakan kembali kesepakatan yang dicapai pemerintah dengan perusahaan tambang yang bermarkas di Amerika Serikat (AS) tersebut. Ia juga menyebut klaim pemerintah atas kesuksesan divestasi saham Freeport Indonesia sekadar pencitraan politik jelang Pemilihan Presiden 2019.
Ia menuturkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang seharusnya memberikan sanksi justru menjanjikan akan ada solusi kebijakan masalah lingkungan.
"Maksudnya, tidak ada sanksi dari KLHK? Kalau begitu, Freeport lolos
dong? Dari dulu kan selalu lolos," tutur Marwan.
Euforia 'Dekap' FreeportGuru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menyebut penandatangan Perjanjian Pendahuluan terkait divestasi sebagian saham Freeport Indonesia bukan lah suatu kemenangan bagi Indonesia. Dari perspektif hukum, ia mengungkapkan sejumlah alasannya.
Pertama, HoA bukan perjanjian jual beli saham, melainkan payung perjanjian. Untuk benar-benar mengantongi 51 persen saham Freeport Indonesia, pemerintah harus memiliki
Participating Rights atau Perjanjian Jual Beli antara Rio Tinto yang kemudian dikonversi menjadi saham. Diikuti, perjanjian antara pemerintah dengan Freeport-McMoran.
Kedua, terkait harga yang disepakati untuk membeli Participating Rights di Rio Tinto dan saham yang dimiliki oleh Freeport-McMoran. Hal ini muncul karena apabila konsesi tidak diperpanjang hingga 2021, maka harga akan lebih murah dibanding konsesi mendapat perpanjangan hingga 2041 mendatang.
"
Ketiga, perlu diperhatikan, pengaturan pengambil keputusan di RUPS. Apakah ada ketentuan sahnya kehadiran dan pengambilan keputusan harus dilakukan minimal 51 persen plus 1, bahkan lebih? Bila demikian, artinya pengendalian perusahaan masih di tangan Freeport-McMoran, meski pemerintah mayoritas," jelas Hikmahanto.
Keempat, apabila ada keputusan RUPS untuk meningkatkan modal, namun pemerintah tak melakukan penyetoran, maka kepemilikan sahamnya terdelusi. Dengan begitu, 51 persen saham negara akan menyusut.
"Tentu, masih banyak hal-hal yang akan menjadi pembahasan antara pemerintah dengan berbagai pihak. Karenanya menyatakan pemerintah menang merupakan pernyataan yang prematur. Sebaiknya pemerintah transparan, untuk mencegah publik merasa dikhianati," imbuhnya.
CEO Freeport-McMoran Richard Adkerson menuturkan dalam kesepakatan awal, para pihak menyepakati keberlangsungan operasi Freeport Indonesia hingga 2041 mendatang, dengan mekanisme yang akan didetailkan lebih lanjut.
"Kedua perusahaan yang akan menjadi pemegang saham Freeport Indonesia, yaitu Inalum dan Freeport-McMoran telah sepakat untuk melanjutkan program jangka panjang yang telah dan tengah dijalankan oleh Freeport Indonesia," tandasnya dalam keterangan resmi Kamis lalu.
(bir/stu)