Jakarta, CNN Indonesia --
Harga minyak mentah dunia relatif stabil pada perdagangan Selasa (17/7), waktu Amerika Serikat (AS), setelah merosot di awal pekan. Hal itu terjadi seiring penurunan stok minyak mentah di AS dan tertahannya produksi di Venezuela dan Libya.
Dilansir dari
Reuters, Rabu (18/7), harga minyak mentah berjangka Brent menanjak US$0,32 menjadi US$72,16 per barel. Di awal sesi perdagangan Brent sempat tertekan ke level US$71,35 per barel, terendah sejak 17 April 2018 lalu.
Harga minyak mentah berjangka AS West Texas Intermediate (WTI) juga berhasil naik tipis US$0,02 menjadi US$68,08 per barel.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Gangguan pasokan di Venezuela kembali menjadi perhatian setelah dua dari empat upgrader minyak mentah dijadwalkan akan memasuki masa perawatan dalam beberapa minggu ke depan. Fasilitas tersebut mampu memproses hingga 700 ribu barel per hari (bph) dan digunakan untuk menyiapkan minyak ekstra berat untuk ekspor.
"Setiap kali ada informasi terkini soal situasi di Venezuela, yang faktanya memburuk, pasar tertopang," ujar partner Again Capital John Kilduff di New York.
Selain menurunnya produksi Venezuela, pelaku pasar juga memberikan perhatian pada persediaan minyak mentah AS. Berdasarkan jajak pendapat Reuters, stok minyak mentah AS diperkirakan bakal merosot 3,5 juta barel pada pekan lalu.
Harga minyak mentah dunia kemudian merosot pada perdagangan pasca penutupan
(post-settlement) setelah Institut Perminyakan AS merilis data kenaikan stok minyak AS sebesar 629 ribu barel menjadi 410,7 juta barel. Padahal, sejumlah analis memperkirakan penurunan akan terjadi sebesar 3,6 juta barel.
Analis Tyche Capital Tariq Zahir menilai pelaku pasar tengah mencari sinyal jelas terkait pasokan, termasuk apakah AS akan menggunakan minyak mentah dari Cadangan Minyak Strategis dan apakah produksi minyak Libya akan kembali pulih menyusul aksi bentrok di akhir Juni dan awal Juli.
"Anda benar-benar harus melihat berapa yang akan diproduksi oleh Arab Saudi bersama dengan Rusia," ujar Zahir.
Harga minyak mentah merosot hampir 10 persen selama pekan lalu seiring dibukanya kembali terminal ekspor minyak mentah di Libya dan kenaikan produksi minyak mentah dari Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan Rusia.
Namun, kemarin, National Oil Corp Libya menyatakan bahwa terjadi kondisi kahar pada pelabuhan bongkar muat minyak mentah Zawiya per Senin lalu.
Kondisi tersebut membuat produsen bisa menghentikan pengiriman minyak jika produksi turun akibat alasan yang tidak bisa dikendalikan. NOC menyatakan produksi dari lapangan minyak Sharara telah menurun sebesar 125 ribu bph menyusul aksi serangan dan penculikan terhadap empat pekerja di lapangan miinyak.
Sementara, Badan Administrasi Informasi Energi AS (EIA) menyatakan bahwa produksi minyak shale AS dari tujuh produsen utama diperkirakan bakal naik sekitar 143 ribu bph menjadi 7,47 juta bph pada Agustus mendatang.
Kemudian, Intercontinental Exchange mengumumkan bakal merilis kontrak minyak mentah WTI dengan hub pengiriman mentah di Houston. Saat ini, hub pengiriman berada di Cushing, Oklahoma. Kontrak baru tersebut akan memfasilitasi pembelian minyak mentah untuk pembeli asing yang mengekspor minyak mentah.
Turut mempengaruhi harga, memanasnya tensi perdagangan antara AS dan mitra dagang utama, khususnya China, dapat menahan kegiatan ekonomi dan menekan permintaan minyak.
Pekan ini, pertumbuhan ekonomi China untuk kuartal II melambat dan ekspansi pabrik pada Juni terlemah dalam dua tahun. Hal itu memberikan sinyal perlambatan kegiatan usaha dalam beberap bulan ke depan seiring meningkatnya tensi dengan AS.
Pemerintah China masih yakin dapat mencapai target pertumbuhan tahun ini sebesar 6,5 persen meski sejumlah pihak menilai perekonomian China tetap bergejolak pada paruh kedua tahun ini akibat memanasnya tensi perdagangan dengan AS.
Terkait harga minyak, Goldman Sachs memperkirakan volatilitas masih akan terjadi dengan harga Brent berada di kisaran US$70 hingga US$80 per barel dalam jangka pendek.
"Pergeseran pasokan, bersamaan dengan kenaikan produksi Arab Saudi, menimbulkan risiko bahwa pasar minyak mentah bakal mengalami surplus (pada kuartal tiga)", ujar Goldman Sachs dalam laporannya.
(agi)