Jakarta, CNN Indonesia -- Nilai tukar
rupiah masih berhasil melanjutkan penguatan dari dolar Amerika Serikat (AS) pada akhir perdagangan pasar spot hari ini, Senin (23/7), meski tak setinggi pada pembukaan pagi tadi.
Rupiah ditutup di posisi Rp14.482 per dolar AS atau menguat 0,09 persen dari penutupan akhir pekan kemarin, Jumat (20/7) di Rp14.495 per dolar AS. Sementara berdasarkan kurs referensi Bank Indonesia (BI), Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), rupiah di posisi Rp14.454 per dolar AS.
Sejalan dengan penguatan rupiah, beberapa mata uang negara di kawasan Asia juga menguat dari dolar AS. Mulai dari yen Jepang menguat 0,26 persen, won Korea Selatan 0,22 persen, rupee India 0,08 persen, dan dolar Hong Kong 0,03 persen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, beberapa mata uang Asia justru sudah berbalik arah. Misalnya, ringgit Malaysia yang melemah 0,02 persen, dolar Singapura minus 0,06 persen, peso Filipina minus 0,1 persen, baht Thailand minus 0,27 persen, dan renmimbi China minus 0,32 persen.
Begitu pula dengan beberapa mata uang negara maju, seperti dolar Kanada yang berbalik melemah 0,08 persen dari dolar AS. Diikuti poundsterling Inggris minus 0,11 persen, euro Eropa minus 0,19 persen, dan dolar Australia minus 0,22 persen.
Hanya rubel Rusia dan franc Swiss yang masih menguat dari dolar AS, masing-masing 0,76 persen dan 0,02 persen.
Lukman Leong, Analis Valbury Asia Futures menilai penguatan rupiah hari ini masih memanfaatkan kondisi indeks dolar AS yang tertahan di zona merah. Dolar AS sendiri mendapat sentimen dari perbedaan pandangan antara Presiden AS Donald Trump dengan bank sentral Negeri Paman Sam, The Federal Reserve.
The Fed sebelumnya memberi pernyataan bahwa bank sentral akan melanjutkan rencana kenaikan bunga acuan secara bertahap pada September mendatang, setelah mengereknya pada Maret dan Juni 2018.
Kebijakan The Fed itu akan membuat dolar AS kembali menguat. Namun, Trump menilai penguatan dolar AS justru tak memuluskan kebijakan perang dagangnya yang memasang tarif tinggi bagi produk-produk impor mitra dagang, khususnya China.
Hal ini membuat keyakinan pasar terhadap dolar AS sedikit terganggu. "Pasar masih berhati-hati, meski Trump tidak bisa mendikte The Fed. Namun, pasar tetap memperhitungkan kelanjutan perang dagang Trump," ucapnya kepada
CNNIndonesia.com.
Kendati rupiah masih menikmati penguatan hari ini, Lukman melihat rupiah hanya berada di atas angin untuk sementara waktu. Sebab, momen pelemahan dolar AS ini diperkirakan tak akan berlangsung lama, setidaknya hanya sampai pertengahan pekan ini.
"Karena ada beberapa data ekonomi AS yang akan dirilis pada akhir pekan ini dan awal bulan depan. Ekspektasi pasar positif, sehingga bisa kembali menguatkan dolar AS," terangnya.
Di sisi lain, tidak ada sentimen internal yang benar-benar bisa mempertahankan rupiah di zona hijau. Ia menilai berbagai kebijakan positif dari BI tetap tidak 'mempan' bagi pasar. Pangkalnya, karena kebijakan ini terbilang terlambat.
"Pelemahan rupiah ini bukan seperti orang sakit lalu diberi obat, lalu bisa langsung sembuh. Seharusnya dari tahun lalu, penguatan rupiah sudah dilakukan secara maksimal oleh BI ketika dolar AS justru melemah cukup dalam," jelasnya.
Walhasil, meski BI kembali mengeluarkan kebijakan penerbitan surat utang bertenor 9-12 bulan yang dikenal dengan sebutan Sertifikat Bank Indonesia (SBI), hal itu tak banyak menarik dana asing untuk masuk ke Indonesia
(capital inflow).
Menurutnya, BI seharusnya fokus untuk benar-benar membenahi kinerja defisit neraca transaksi berjalan
(Current Account Deficit/CAD). Sebab, kondisi fundamental ekonomi yang positif dari sisi pertumbuhan ekonomi dan inflasi tak cukup memberi sentimen pada pergerakan rupiah.
"Beberapa mata uang negara lain memang melemah juga dari dolar AS, tapi pergerakannya masih lebih baik karena CAD mereka tetap positif," pungkasnya.
(agi)