Jakarta, CNN Indonesia -- Lira
Turki anjlok 2 persen terhadap
dolar AS sejak bank sentral negara tersebut mengejutkan investor dengan kebijakannya untuk menahan suku bunga acuannya sebesar 17,75 persen. Mata uang tersebut sudah anjlok 27 persen sepanjang tahun ini.
Para ekonom mengharapkan bank sentral menaikkan suku bunga untuk melawan inflasi, yang mencapai 15 persen pada bulan Juni. Banyak pengamat menilai keputusan ini menunjukkan pengaruh Presiden
Recep Tayyip Erdogan yang mendukung suku bunga rendah pada bank sentral.
Dikutip dari
CNN, Tim Ash, Ekonom BlueBay Asset Management mengatakan keputusan ini tidak dapat dimengerti untuk ukuran bank sentral yang sebelumnya mengatakan peduli dengan inflasi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Negara pasar berkembang di seluruh dunia saat ini tengah berada di bawah tekanan, tetapi para analis memperingatkan bahwa Turki sangat rentan. Mereka bahkan memperkirakan Turki saat ini berpotensi menuju krisis mata uang yang bisa memerlukan dana talangan
(bailout) atau membatasi jumlah uang yang keluar dari negara itu.
Pada Kamis (26/7), Presiden AS Donald Trump mengancam bakal memberikan "sanksi besar" pada Turki atas pemenjaraan seorang pendeta Amerika. Ancaman yang dapat berkembang pada penderitaan ekonomi Turki lebih besar.
Investor telah berbondong-bondong memindahkan dananya ke AS dalam beberapa bulan terakhir. Mereka tertarik dengan naiknya imbal hasil obligasi dan penguatan dolar AS.
Pergeseran tersebut menyebabkan kerusakan di pasar keuangan negara berkembang. Argentikan bahkan terpaksa meminta Dana Moneter Internasional (IMF) untuk memberikan dana talangan US$50 miliar atau sekitar Rp720 triliun (asumsi kurs Rp14.400 per dolar AS).
Risiko TurkiEkonomi Turki tumbuh 7,4 persen pada kuartal pertama dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Namun pertumbuhannya dalam beberapa tahun terakhir telah didorong oleh konstruksi yang dibiayai sebagian besar oleh investor asing.
Investor khawatir tentang kemampuan negara mendatangkan uang selama masa-masa sulit untuk melunasi utangnya.
Erdogan, yang terpilih kembali pada bulan Juni, adalah sumber ketidakpastian lain. Seiring kekuasaannya yang terlalu besar pada kebijakan ekonomi negara tersebut.
Mujtaba Rahman, managing editor untuk Eropa di konsultan risiko politik Eurasia Group mengatakan bahwa pemerintah Turki perlu menjaga pengeluarannya di bawah kendali. Jika menteri keuangan gagal menyampaikan pesan yang kredibel, dia mengatakan risiko krisis yang berakhir pada kebutuhan dana talangan IMF akan semakin meningkat.
(cnn/agi)