Jakarta, CNN Indonesia --
Harga minyak mentah menanjak pada perdagangan Senin (30/), waktu Amerika Serikat (AS). Penguatan terjadi seiring perhatian pelaku pasar yang kembali terpusat ke proyeksi gangguan produksi yang salah satunya disebabkan oleh pengenaan
sanksi AS terhadap Iran.
Dilansir dari
Reuters, Selasa (31/7), harga minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman Oktober ditutup menanjak US$0,79 menjadi US$75,55 per barel. Kemudian, harga Brent untuk pengiriman September juga naik sebesar US$0,68 atau 0,9 persen menjadi US$74,97 per barel.
Kenaikan harga juga terjadi pada harga minyak mentah berjangka AS West Texas Intermediate (WTI) sebesar US$1,44 atau 2,1 persen menjadi US$70,13 per barel.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejumlah trader memperkirakan penguatan WTI dipicu oleh ekspektasi terjadinya penurunan stok minyak mentah AS pekan lalu dan kekhawatiran terhadap gangguan di fasilitas Syncrude, Kanada yang tidak dapat teratasi secepat yang diperkirakan.
"Pasar di AS sini semakin ketat dan ketat dalam hal pasokan, khususnya di Cushing," ujar Partner Again Capital Management John Kilduff di New York.
Karenanya, lanjut Kilduff, harga WTI di pasar terdongkrak.
Persediaan minyak mentah di hub pengiriman Cushing, Oklahoma, telah berkurang akibat gangguan di fasilitas Syncrude, Kanada.
Berdasarkan data Badan Administrasi Informasi Energi AS (EIA), pada pekan yang berakhir 20 Juli 2018, persediaan di Cushing merosot 23,7 juta barel. Jumlah tersebut terendah sejak November 2014.
Namun, menurut sejumlah trader, dengan mengutip data perusahaan informasi energi Genscape, persediaan di Cushing menanjak hampir 200 ribu barel atau hampir satu persen sepanjang Selasa hingga Jumat pekan lalu.
Harga minyak mentah mulai kembali pulih setelah tertekan pada dua pekan terahir. Penguatan juga terjadi akibat pengenaan sanksi AS terhadap Iran yang mulai membatasi ekspor minyak mentah dari negara tersebut.
Pada Senin kemarin, Presiden AS Donald Trump menyatakan akan bertemu dengan Presiden Iran Hassan Rouhani.
Dalam catatannya, Analis PVM Oil Associates Tamas Varga menyatakan skenario terbaik adalah AS memberikan penghapusan sanksi yang dapat membuat Iran terhindar dari kehilangan ekspor sekitar 500 ribu hinga 700 ribu barel per hari (bph).
Pasar kembali terkerek bahkan setelah survey Reuters menunjukkan Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) mengerek produksi pada Juli.
Opec megerek produksi sebesar 70 ribu bph menjadi 32,64 juta bph, tertinggi sepanjang 2018. Kenaikan pasokan lebih tinggi dapat mengimbangi efek dari gangguan pasokan dan menekan harga.
Vice President Tradition Energy Gene McGillian menyatakan harga minyak mentah tetap mendapatkan topangan dari proyeksi ketatnya pasokan dengan menurunnya pasokan minyak mentah global dari rekor tertinggi di 2017 dan persedian minyak mentah AS yang berada di level terendah dalam tiga tahun terakhir.
"Jika ada mundur sejenak dan melihat di mana level persediaan (minyak mentah) global dan AS, Anda akan melihat gambaran yang lebih ketat dari yang pasar alami setahun lalu," ujar McGillian.
Secara keseluruhan, McGillian menilai pasar tengah dalam proses stabilisasi.
Pekan lalu, Arab Saudi menghentikan sementara pengiriman minyak melalui selat Bab al-Mandeb di Laut Merah yang merupakan salah satu jalur kapal tanker terpenting di dunia. Penutupan jalur dilakukan setelah terjadi serangan terhadap dua kapal oleh kelompok Houthis dari Yaman yang terafiliasi dengan Iran.
"Kekhawatiran yang sedang terjadi terkait berkurangnya pasokan yang berasal dari selat Bab al-Mandeb, ditambah dengan gangguan pasokan di Venezuela yang masih berlangsung, seperti memberikan sebuah momentum pada pasar. Belum lagi masih ada potensi kehilangan pasokan dari Iran," ujar Analis Price Futures Group Phil Flynn di Chicago.
(agi)