Jakarta, CNN Indonesia -- Koalisi Publish What You Pay (PWYP) Indonesia menolak rencana penghapusan ketentuan pemenuhan kebutuhan batu bara dalam negeri (Domestic Market Obligation/DMO) dan harga khusus
batu bara DMO untuk mendongkrak ekspor.
"DMO kan mandat undang-undang. Menurut kami, biarkan itu berlaku setiap tahun," ujar Peneliti PWYP Indonesia Rizky Ananda Wulan Sapta Rini dalam Diskusi Media 'Tarik Ulur Kebijakan DMO Batu Bara' di Jakarta, Rabu (1/8).
Secara umum, Rizky menghitung, penghapusan harga khusus DMO batu bara dapat menambah beban PLN setidaknya US$4,2 miliar atau sekitar Rp58 triliun. Angka itu berasal dari selisih antara harga khusus DMO yang dipatok US$70 per ton dengan Harga Batu Bara Acuan (HBA) Juli US$104,65 per ton.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Wacana pembentukan Badan Layanan Umum untuk memungut iuran ekspor batu bara juga perlu dikaji. Menurut Rizky, hal itu berpeluang menimbulkan pemburu rente baru.
Kajian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Badan Pengelola Dana Perkebunan Kepala Sawit (BPDPKS) pada 2016 menemukan tiga masalah tata kelola utama.
Pertama, sistem verifikasi ekspor tidak berjalan baik, penggunaan dana perkebunan kelapa sawit habis untuk membayar selisih harga solar dengan biodiesel, dan penerima terbesar pembayaran selisih tersebut hanya tiga grup usaha.
Sebenarnaya, apabila besaran iuran batu bara hanya US$3 per ton, sesuai wacana awal Menteri Koordinator Luhut Binsar Pandjaitan, maka total iuran maksimal hanya US$1,39 miliar atau Rp19,47 triliun.
"Artinya, PLN tetap akan terbebani sebesar US$2,8 miliar atau Rp39 triliun," ujarnya.
Menurut Rizky, selama ini pemerintah terlalu banyak memberikan insentif kepada pengusaha batu bara. Misalnya, kenaikan target produksi batu bara tahun ini mencapai 5 persen dari Rencana Kerja dan Anggaran Belanja (RKAB) 2017 menjadi 485 juta ton.
Hal itu bertentangan dengan Rencana Panjang Jangka Menengah Nasional 2015 - 2019 yang menetapkan produksi batu bara sebesar 406 juta pada 2018.
Selain itu, pemerintah juga menunda kewajiban penggunaan kapal nasional dari 1 Mei 2018 menjadi 1 Agustus 2020 dan menunda kewajiban asuransi nasional untuk ekspor batu bara hingga 1 Februari 2019.
Padahal, menurut Rizky, tata kelola bisnis batu bara masih buruk. Per Maret 2018, sebanyak 710 Izin Usaha Pertambangan (IUP) masih berstatus Non clean and clear (CNC). Selain itu, masih terdapat piutang pelaku usaha pertambangan untuk Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) mencapai Rp4,5 triliun per Juli 2018.
Kemudian, berdasarkan data tahun 2016, 631 ribu hektar konsesi batu bara berada di kawasan hutan lindung. Tak hanya itu, 212 ribu hektar konsesi batu bara berada di kawasan hutan konservasi.
Per Juni 2016, baru 60 persen IUP minerba yang sudah menempatkan jaminan reklamasi dan hanya 16 persen IUP minerba yang sudah menempatkan jaminan pascatambang.
Belum lagi sistem verifikasi ekspor batu bara masih lemah sehingga ada indikasi perbedaan data antara Laporan Surveyor (LS) dengan data Badan Pusat Statistik (BPS). Berdasarkan perhitungan PWYP, selama periode 2011 - 2015, perbedaan data LS dan Bea Cukai mencapai 93,4 juta ton batu bara.
Verifikasi yang masih lemah menyebabkan penerimaan PNBP dari sektor minerba tidak optimal. Pada 2016, data Extractive Industries Transperancy Initiative (EITI) menunjukkan 94 persen penerimaan PNBP di sektor batu bara disumbang oleh 112 perusahaan dari total 1654 pemilik IUP.
Melihat hal itu, Rizky menyambut pembatalan rencana pencabutan kebijakan DMO batu bara. Hal itu bisa menjadi momentum untuk meneruskan kembali evaluasi kepada pelaku industri batu bara terkait tata kelola, termasuk kepatuhan memenuhi kewajiban DMO.
Meskipun, melihat respon pemangku kepentingan, Rizky tak kaget jika keputusan pembatalan tersebut hanya untuk meredam polemik yang beredar di masyarakat.
"PWYP Indonesia mendorong pemerintah untuk berani memberikan sanksi tegas bagi pelaku usaha yang gagal memenuhi kewajiban DMO-nya," ujarnya.
(lav)