ANALISIS

Mencermati Gerak IHSG saat Pilpres Makin Dekat

Dinda Audriene Muthmainah | CNN Indonesia
Jumat, 03 Agu 2018 14:48 WIB
Berdasarkan tren dalam beberapa tahun terakhir, IHSG selalu mencatatkan kenaikan yang signifikan pada tahun diselenggarakannya pemilihan presiden (pilpres).
Ilustrasi pergerakan saham. (CNN Indonesia/Hesti Rika)
Jakarta, CNN Indonesia -- Masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan segera berakhir di tahun depan. Semarak pesta demokrasi jelang pemilihan presiden (pilpres) 2019 pun sudah terasa dari sekarang.

Tak hanya berpengaruh pada kehidupan sosial dan politik, pilpres juga turut mempengaruhi perekonomian.

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengatakan pemerintah mengantisipasi maraknya sentimen politik jelang pilpres yang dapat mempengaruhi stabilitas ekonomi dan pasar keuangan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kami harus tetap berjaga-jaga agar masyarakat terutama sektor keuangan dan perekonomian secara keseluruhan tidak terkena tumpahan atau dampak dari munculnya isu-isu politik menjelang pemilu," ucap Sri Mulyani belum lama ini.

Khusus untuk sektor pasar modal, Direktur Penilaian Perusahaan Bursa Efek Indonesia (BEI) I Gede Nyoman Yetna cukup optimis tahun politik tak akan mengganggu pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melaju di zona hijau.

"Tidak akan terpengaruh (Pilpres 2019). Kan bukan pertama kali," ucap Nyoman.

Namun, bagaimana sebenarnya pergerakan IHSG pada tahun di mana Pilpres itu tengah berlangsung?
Mencermati Gerak IHSG saat Pilpres Makin DekatPergerakan IHSG. (CNN Indonesia/Fajrian)
Berdasarkan data BEI, IHSG tampak selalu menguat setiap kali pilpres berlangsung sejak 2004 silam. Rinciannya, IHSG pada 2004 naik sebesar 44,56 persen, kemudian pada 2009 naik 86,98 persen dan 2014 naik 22,29 persen.

Kenaikan yang bertahap itu membuat IHSG mencapai level 6.000 tahun ini. Pada 2003 lalu, IHSG masih berada di level 691 dan menanjak hingga tembus ke level 1.000 pada 2004.

Kemudian, pada 2008 indeks di kisaran 1.355 dan berakhir di level 2.534 pada tahun berikutnya. IHSG pun semakin kokoh dengan pilpres 2013 dan mendarat di level 5.226 dari tahun sebelumnya 4.274.

Pengamat Pasar Modal Teguh Hidayat menilai optimisme pelaku pasar terhadap presiden dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang baru menjadi penopang penguatan IHSG pada tahun pilpres itu berlangsung.

"Dengan adanya presiden dan anggota DPR baru, pelaku pasar percaya ekonomi akan lebih baik lagi," ucap Teguh kepada CNNIndonesia.com, Jumat (3/8).

Teguh tak menampik jika seringkali calon pemimpin negara dan calon anggota DPR mengumbar janji yang belum tentu akan direalisasikan ketika mereka benar-benar terpilih oleh rakyat.

Namun, pelaku pasar tetap berpikir positif jika janji kontestan politik itu tak hanya sekadar omong kosong belaka.

"Mau janji asli atau palsu, pokoknya percaya kalau mereka yang terpilih ya tidak akan membuat ekonomi memburuk," terang Teguh.

Menariknya, respons positif tak hanya datang dari pelaku pasar domestik, melainkan juga pelaku pasar asing. Terbukti, kucuran dana asing selalu membanjiri pasar saham ketika pilpres berlangsung.
Mencermati Gerak IHSG saat Pilpres Makin DekatAliran dana asing. (CNN Indonesia/Fajrian)
Pada 2004 misalnya, pelaku pasar asing tercatat beli bersih (net buy) sebesar Rp18,81 triliun. Selanjutnya, jumlah net buy pada 2009 sebesar Rp13,29 triliun dan pada 2014 sebesar Rp42,59 triliun.

Teguh mengatakan sebenarnya tak ada pola yang pasti dari sikap pelaku pasar asing dalam merespons pilpres di Indonesia. Hanya saja, ia meyakini selama tak terjadi keributan jelang tahun politik, maka pelaku tak akan terjadi hal yang negatif pada pergerakan bursa saham.

"Jadi asing random saja, ya kadang beli kadang jual. Yang penting pilpres lancar itu jadi sentimen positif," jelas Teguh.


Di sisi lain, Analis Mega Capital Indonesia Fadlillah Qudsi mengatakan mayoritas pelaku pasar asing setiap tahun biasanya akan melakukan aksi jual pada April dan kembali membeli saham dalam negeri pada Oktober.

"Istilah pasar modalnya sell on April, buy October. Jadi pasar sebenarnya April-Mei cenderung turun dan Oktober naik lagi," tutur Fadlillah.

Dengan begitu, Fadlillah memprediksi IHSG bisa saja terkoreksi saat pemungutan suara pilpres pada April 2019 mendatang. Namun, berkaca pada penyelenggaraan tiga kali pilpres sebelumnya, IHSG 2019 tetap berpotensi menguat jika diakumulasi sepanjang tahun.

"Namun untuk di level berapanya masih terlalu dini untuk diproyeksikan, biasanya potensi tahun depan baru bisa dilihat nanti jelang pergantian tahun," papar Fadlillah.

Konsumsi dan Telekomunikasi Topang IHSG

Executive VP Intermediary Business Schroders Investment Management Indonesia M Renny Raharja memaparkan barang konsumsi dan telekomunikasi akan menjadi indeks sektoral yang menopang pergerakan IHSG selama pilpres berlangsung.

"Karena memang perputaran dana pada tahun politik itu lebih besar," ujar Renny.


Artinya, besar kemungkinan saham emiten yang bergerak dalam sektor barang konsumsi dan telekomunikasi memberikan banyak cuan pada tahun depan.

Beberapa contoh saham emiten berbasis barang konsumsi berkapitalisasi besar (big capitalizaion/big cap), antara lain PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk (HMSP), PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR), dan PT Gudang Garam Tbk (GGRM).

Sementara, contoh saham emiten telekomunikasi big cap, yakni PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM), PT XL Axiata Tbk (EXCL), dan PT Indosat Tbk (ISAT).

Senada, Analis OSO Sekuritas Indonesia Rifqiyati mengatakan anggota partai politik akan banyak belanja untuk keperluan kampanye, misalnya baliho, kaos, dan sembako.

Peningkatan belanja masyarakat akan berdampak positif pada daya beli masyarakat. Sebagaimana diketahui, tingkat konsumsi masyarakat memiliki andil besar terhadap pertumbuhan ekonomi.

"Potensi ekonomi tumbuh karena konsumsi itu, 2019 nanti semoga pilpres berjalan aman," kata Rifqiyati.


Setahun Sebelum Pilpres

Kendati IHSG bersorak riang ketika pilpres berlangsung, tetapi nyatanya indeks biasanya memerah setiap satu tahun sebelum pilpres berlangsung.

Hal itu terjadi pada dua pilpres terakhir yang berlangsung pada 2009 dan 2014. Bila dirinci, IHSG pada 2008 anjlok 50,64 persen dan pada 2013 turun 0,98 persen. Sementara, pada 2003 lalu IHSG berhasil tetap menguat sebesar 62,82 persen.

Teguh menjelaskan penurunan yang terjadi satu tahun sebelum pilpres pada 2008 dan 2013 tak ada kaitannya dengan gelaran pesta politik itu sendiri.

Ia memastikan hal itu bukan karena pelaku pasar bersikap hati-hati atau menunggu (wait and see) menanti pilpres berlangsung.

"Kalau 2008 jeblok karena krisis global, tidak ada hubungannya denga politik," tutur Teguh.


Sementara, pelemahan IHSG pada 2013 disebabkan pertumbuhan ekonomi yang melambat kala itu. Terlebih, harga komoditas batu bara anjlok.

"Ekonomi juga masih lesu pas 2014 nya, tapi karena ada sentimen pilpres 2014 jadi indeks naik," jelas Teguh.

Adapun, jelang pilpres 2019 sendiri, IHSG sejak awal tahun hingga 3 Agustus 2018 tercatat melemah 5,17 persen ke level 6.011 dari 6.339.

Fadlillah mengungkapkan hal itu disebabkan oleh faktor global, di antaranya perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan China.

Selain itu, rencana kenaikan suku bunga The Fed juga mempengaruhi pergerakan nilai tukar rupiah terhadap AS. Pada penutupan perdagangan Kamis (2/8), rupiah melemah 0,26 persen menjadi Rp14.478 per dolar AS.

"Bukan karena politik, bukan karena pilpres tapi karena misalnya perang dagang itu," tandas Fadlillah.

Makanya, sejumlah analis efek ini sependapat isu perang dagang akan terus menghambat pergerakan IHSG selama belum ada titik terang perdamaian dari AS maupun China. (agi)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER