Jakarta, CNN Indonesia -- Ekonom menilai faktor yang mampu mendorong sentimen positif
berinvestasi bukan latar belakang sosok
calon presiden dan calon wakil presiden (Capres dan Cawapres), melainkan program masing-masing pasangan yang calon mampu memberi kepastian berbisnis bagi para pelaku usaha.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan pelaku pasar berharap pasangan Capres-Cawapres bisa menyelesaikan masalah ekonomi jangka panjang sehingga situasi lebih kondusif. Namun, hal itu tentu belum bisa terbaca dengan melihat latar belakang pasangan calon.
Petahana Joko Widodo yang pernah menjadi pengusaha menggandeng Ma'ruf Amin, penggerak ekonomi syariah yang berasal dari kelompok ulama. Sementara itu, Capres Prabowo Subianto yang berlatar belakang militer berpasangan dengan Sandiaga Uno yang punya jejak sebagai pengusaha, lalu banting setir menjadi birokrat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Karenanya, pelaku usaha tentu masih wait and see sampai program kampanye kandidat Capres-Cawapres clear dan detail," jelas Bhima kepada
CNNIndonesia.com, Jumat (10/8).
Melihat kondisi tersebut, kedua pasangan calon juga diharapkan berhenti membuat jargon-jargon ekonomi sebelum punya rencana kerja yang jelas. Ia pun mencontohkan Ma'ruf Amin yang ingin setop impor pangan hingga Prabowo Subianto yang kerap bicara data kemiskinan dan ketimpangan.
Jargon saja, lanjut Bhima, tak cukup mengisyaratkan arahan kepada pelaku usaha terkait langkah yang ingin diambil pasangan calon dalam lima tahun ke depan. Akan lebih baik jika jargon dibunyikan setelah rencana kerja selesai, dilengkapi dengan susunan nama calon tim ekonomi di dalam kabinet masing-masing pasangan Capres-Cawapres.
"Intinya kandidat capres cawapres jangan sepelekan masalah ekonomi," ujar dia.
Ia juga bilang, program Capres-Cawapres juga ditunggu pelaku usaha lantaran perekonomian Indonesia diramal makin tertekan pada semester II. Kenaikan harga barang modal, bahan baku produksi, serta barang konsumsi impor akibat depresiasi nilai tukar rupiah akan semakin terasa pada semester ini.
Tak hanya itu, tekanan global seperti kenaikan suku bunga acuan Fed Rate tentu diikuti oleh kebijakan Bank Indonesia (BI) yang juga menaikkan suku bunga acuan 7DRRR. Jika demikian, maka bunga kredit naik, sehingga penyaluran kredit bisa tertahan.
"Jika bunga kreditnya naik, sementara prospek ekonomi stagnan mau situasi kondusif pun bisnis tetap menahan ekspansi," terang dia.
Pemerintah pun tak boleh lengah di tengah hingar bingar Capres-Cawapres. Pasalnya, realisasi investasi pasti akan selalu turun menjelang tahun politik karena sikap wait and see.
Terlebih, dampak tahun politik kepada investasi sebenarnya sudah terasa pada kuartal II kemarin. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan Pembentuk Modal Tetap Bruto (PMTB) di kuartal kemarin hanya 5,87 persen padahal pertumbuhan sebesar 7 persen berhasil dicetak tiga kuartal sebelumnya.
Dengan demikian, pemerintah harus pintar-pintar antisipasi. Salah satunya adalah dengan tidak gegabah membuat kebijakan.
"Biasanya jelang Pilpres, para menteri kebut-kebutan buat aturan baru. Kemarin contohnya soal pencabutan Domestic Market Obligation (DMO) batu bara itu belum matang di internal tapi sudah dilempar ke publik. Jadi gaduh," pungkas dia.
Di sisi lain, pengumuman pasangan Capres dan Cawapres nampaknya akan menjadi sentimen pada pasar modal hari ini. Sebab, euforia pengumuman Capres dan Cawapres bikin pelaku pasar termotivasi melakukan aksi ambil untung (profit taking) dalam sekejap.
Analis Artha Sekuritas Dennies Christoper Jordan meramalkan aksi jual akan marak dilakukan di pasar saham hari ini. Namun, pelaku pasar juga sedang menanti data neraca pembayaran yang akan segera rilis dalam waktu dekat.
Dengan dua pertimbangan ini, Dennies memprediksi IHSG berakhir di zona merah pada pekan ini.
"IHSG diprediksi melemah setelah gagal menembus resistance psikologis di level 6.100. (Prediksi) rentang support 6.025-6.045 resistance 6.095-6.125," kata Dennies melalui risetnya.
(lav)