Jakarta, CNN Indonesia --
Harga minyak dunia sepanjang minggu lalu melemah, dipicu kekhawatiran investor terhadap memanasnya sengketa dagang global yang dapat menahan laju
pertumbuhan ekonomi dan menyeret permintaan energi.
Dilansir dari
Reuters, Senin (13/8), harga minyak mentah berjangka Brent ditutup di level US$72,96 per barel pada Jumat (10/8) lalu. Secara mingguan, Brent merosot sekitar 0,5 persen.
Pelemahan mingguan juga terjadi pada harga minyak mentah berjangka AS West Texas Intermediate (WTI) sebesar 1,2 persen menjadi US$67,63 per barel.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski secara mingguan melemah, secara harian kedua harga acuan di akhir pekan menguat. Dalam hal ini, Brent tercatat menanjak sekitar US$0,74 dan WTi US$0,82 persen per barel.
Pada Jumat lalu, data menunjukkan bahwa manajer keuangan memangkas posisi pada kemungkinan harga minyak mentah AS bakal menanjak (bullish) pada pekan yang berakhir pada Selasa (7/8).
Manager Member Tyche Capital Tariq Zahir memperkirakan harga minyak akan terus berada di bawah tekanan seiring lambatnya permintaan bensin di musim gugur dan berhentinya operasional kilang untuk perawatan sehingga akan menumpuk lebih banyak stok minyak gudang.
Berdasarkan data terakhir, pasokan minyak mentah AS merosot lebih rendah dari yang diperkirakan. Data yang dirilis pada Jumat lalu juga menunjukkan bahwa, pekan lalu, perusahaan energi menambah jumlah rig yang terbanyak sejak Mei 2018.
Berdasarkan data perusahaan pelayanan di sektor energi Baker Hughes, pengebor menambah 10 rig minyak pada pekan yang berakhir Jumat (10/8) sehingga jumlah rig menjadi 869 rig, terbanyak sejak Maret 2015.
Memanasnya sengketa perdagangan antara AS, China dan beberapa negara lain telah menyeret proyeksi pertumbuhan ekonomi dan mendongkrak kurs dolar AS. Akibatnya, harga minyak menjadi relatif lebih mahal bagi konsumen yang menggunakna mata uang lain.
Pelemahan terjadi pada sejumlah mata uang dari negara berkembang utama, seperti China, India, dan Turki.
Investor khawatir terhadap sengketa datang antara AS dan China. Dalam perkembangan terakhir, China menyatakan akan mengenakan tarif sebesar 25 persen terhadap impor AS yang bernilai US$16 miliar.
Meski minyak mentah dikeluarkan dari daftar komoditas yang akan dikenakan tarif, diganti dengan produk kilang dan Liquified Petroleum Gas (LPG), analis memperkirakan impor China untuk minyak mentah AS bakal merosot secara signifikan.
Di tengah kekhawatiran, harga minyak masih mendapatkan sokongan dari pengenaan sanksi AS terhadap Iran di mana pada November mendatang akan berlaku pada ekspor minyak Iran.
Meski Uni Eropa, China, dan India menentang pengenaan sanksi AS terhadap Iran, banyak yang memperkirakan bahwa negara tersebu akan mematuhi sanksi tersebut akibat tekanan dari AS.
Analis memperkirakan ekspor minyak mentah Iran bakal merosot sekitar 500 ribu hingga 1,3 juta barel per hari (bph), dengan permintaan minyak yang telah menurun dari Jepang, Korea Selatan, dan India.
Berkurangnya permintaan akan tergantung pada ada atau tidaknya pengecualian bagi sejumlah negara untuk tetap melakukan impor minyak dari Iran.
Badan Energi Internasional (IEA) pada Jumat lalu menyatakan bahwa pasar minyak akan mengalami lebih banyak turbulensi. Dengan meredanya tekanan terhadap pasokan jangka pendek, rendahnya harga minyak dan pertumbuhan permintaan minyak kemungkinan tidak akan bertahan lama.
"Seiring berlakunya sanksi terhadap Iran, kemungkinan dikombinasikan dengan gangguan produksi di tempat lain, upaya menjadi pasokan global akan menjadi sangat menantang," ujar IEA dalam laporannya.
(agi)