Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Koordinator Bidang Perekonomian
Darmin Nasution menyoroti pemberitaan terkait tingginya pertumbuhan impor bulanan pada Juli 2018.
Menurut Darmin, peningkatan impor pada Juli 2018 tidak bisa dibandingkan dengan kinerja impor bulan sebelumnya karena memiliki momentum yang berbeda.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor Juli 2018 sebesar US$18,27 miliar. Angka ini melonjak sekitar 62,17 persen apabila dibandingkan dengan realisasi impor Juni 2018. Bahkan, jika hanya melihat komoditas nonmigas saja, impor Juli melesat 71,54 persen secara bulanan menjadi US$15,66 miliar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Judul di laporannya (BPS) bunyinya bisa memancing perhatian, memberi efek negatif bahwa impor Juli itu meningkat 62 persen, bunyinya begitu. Waduh serem amat saya bilang," ujar Darmin dalam konferensi pers bersama Kamar Dagang dan Industri (Kadin) di Hotel Westin Jakarta, Rabu (15/8).
Menurut Darmin, lonjakan pertumbuhan impor pada bulan lalu terjadi karena selama Mei-Juni impor Indonesia merosot 38 persen.
"Mengapa (impor Mei-Juni) turun 38 persen? Kita banyak mengambil libur sehingga orang tidak mengekspor dan mengimpor. Ada dua mingguan (libur) kalau tidak salah," ujar Darmin.
Jika menghilangkan impor Juni yang menurun, pertumbuhan impor dari Mei ke Juli hanya sekitar tiga persen.
Kendati demikian, Darmin menyadari bahwa pemerintah masih harus melakukan upaya perbaikan mengingat defisit perdagangan bulan lalu melebar hingga US$2 miliar.
Karenanya, pemerintah tidak tinggal diam dengan menyusun strategi untuk menekan impor. Sesuai hasil rapat terbatas di Kompleks Istana Kepresidenan kemarin, pemerintah akan melakukan tiga kebijakan utama demi mengurangi impor.
Ketiga strategi tersebut antara lain, mempercepat pencampuran biodesel sebesar 20 persen di Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Solar (B-20), melakukan substitusi atas 500 komoditas impor, serta meminta PT Pertamina (Persero) dan PT PLN (Persero) untuk menyetop impor barang modal selama enam bulan ke depan.
(lav)