Jakarta, CNN Indonesia --
Pemerintahan Joko Widodo menyebut
shadow economy yang tinggi menjadi salah satu penyebab tak tercapainya target
pajak.
Hal itu disampaikan Jokowi dalam Nota Keuangan beserta RAPBN 2019 di Gedung MPR/DPR pada Kamis (16/8). Dia menuturkan sejumlah sebab tak tercapainya pajak, di antaranya adalah kinerja perekonomian domestik yang tumbuh moderat.
Hal itu, demikian Presiden, membuat pemerintah bersikap hati-hati untuk menghimpun penerimaan pajak. Selain itu ada pula perubahan perilaku pelaku usaha macam perkembangan usaha secara daring, rekayasa keuangan yang kian kompleks dan terintegrasinya perdagangan global dan regional.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, pemerintah juga mengidentifikasi tak tercapainya target pajak selama ini, akibat adanya
shadow economy. Secara umum, hal itu berarti kegiatan ilegal yang sengaja dilakukan untuk menghindari kewajiban administratif dan perpajakan.
Jokowi menyatakan
shadow economy merupakan salah satu sektor yang sulit dikenakan pajak. "Baik dari usaha legal maupun ilegal yang sengaja dilakukan untuk menghindari kewajiban administratif dan perpajakan," kata dia dalam pembacaan nota tersebut.
Jokowi pun mengutip penelitian yang menyatakan
shadow economy di negara berkembang macam Indonesia bisa memberikan kontribusi sebesar 30-40 persen untuk Produk Domestik Bruto (PDB). Persentase tersebut, kata dia, merupakan cerminan potensi kerugian negara dari sektor pajak yang diakibatkan shadow economy.
"Untuk itu diperlukan penggalian potensi pajak untuk mendapatkan penambahan WP dari aktivitas
shadow economy," kata dia.
Kekayaan TersembunyiDi sisi lain, pemerintahan Jokowi juga menyebutkan sejumlah faktor yang memengaruhi kegagalan pencapaian target pajak. Pelbagai faktor itu adalah lemahnya kepatuhan Wajib Pajak, struktur penerimaan pajak yang tak berimbang, rendahnya indikator penerimaan pajak terhadap pertumbuhan ekonomi, serta rumitnya administrasi perpajakan.
Kementerian Keuangan mencatat realisasi pencapaian perpajakan pada 2016 mencapai Rp1.285 triliun yang kemudian meningkat 4,6 persen menjadi Rp1.343 triliun pada 2017.
Selain itu, pemerintah juga menyebut penerapan
Automatic Exchange of Information dan kewenangan Ditjen Pajak untuk mengakses informasi keuangan juga dapat menjadi sumber risiko fiskal lainnya. Hal itu terkait dengan bagaimana upaya tersebut dapat dilakukan secara profesional pemerintah dan tak menimbulkan resistensi dari masyarakat.
"Hal itu dapat mengurangi fenomena
hidden wealth untuk menghindari pajak, namun perlu dilakukan secara profesional dan kredibel," demikian pemerintah.
(asa)