Jakarta, CNN Indonesia --
Harga minyak dunia menguat pada perdagangan Senin (20/8), waktu
Amerika Serikat (AS), setelah tertekan selama beberapa pekan terakhir.
Penguatan dipicu proyeksi pasokan minyak global dari Iran yang menurun akibat pengenaan sanksi AS, sementara kekhawatiran investor terhadap perang dagang antara AS-China mulai berkurang.
Dilansir dari
Reuters, Selasa (21/8), harga minyak mentah berjangka Brent naik US$0,38 atau 0,5 persen menjadi US$72,21 per barel. Penguatan juga terjadi pada harga minyak mentah berjangka AS West Texas Intemediate (WTI) sebesar US$0,52 atau 0,8 persen menjadi US$66,43 per barel.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Harga Brent merosot dalam tiga pekan berturut-turut. Tak hanya itu, harga WTI juga turun selama tujuh pekan berturut-turut karena kekhawatiran terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi di tengah memanasnya tensi perdagangan China dan pelemahan ekonomi di negara berkembang.
Pemerintah China dan AS berencana untuk berdiskusi tentang perdagangan pada Agustus ini. Hal itu dilakukan demi menyelesaikan eskalasi perang tarif antara dua perekonomian terbesar di dunia tersebut.
Meski demikian, Penasihat Ekonomi Gedung Putih Larry Kudlow menyatakan China seharusnya tidak menganggap ringan solusi yang ditawarkan Presiden AS Donald Trump.
"Sebagian pelemahan di pasar minyak mentah utamanya disebabkan perdagangan, seiring kekhawatiran terhadap kenaikan tarif dan tensi perdagangan yang meningkatkan level ketidakpastian dan berpotensi mengurangi Pendapatan Domestik Bruto (PDB) global," ujar Manajer Investasi dan Direktur Pelaksana Tortoise Brian Kessens seperti dikutip dari
Reuters.
Para pedagang minyak berjangka menilai sanksi AS terhadap Iran menyokong harga. Pemerintah AS telah mengumumkan sanksi finansial terhadap Iran yang juga membidik sektor perminyakan dari produsen terbesar ketiga Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) itu. Implementasi sanksi akan berlaku mulai November 2018.
Senin lalu, Iran meminta Uni Eropa untuk mempercepat upaya penyelamatan kesepakatan nuklir antara Iran dan negara-negara maju dunia yang telah ditinggalkan Trump pada Mei lalu.
Kebanyakan perusahaan dari Uni Eropa telah keluar dari Iran karena khawatir dengan pengenaan sanksi AS. Iran memastikan perusahaan minyak asal Perancis Total telah secara resmi hengkang dari proyek gas South Pars di Iran.
"Sanksi Iran kemungkinan akan tetap menjadi faktor laten pendorong harga dalam satu bulan atau lebih banyak definisi yang dibuat terkait efek terhadap ekspor minyak Iran," ujar President Ritterbusch and Associates Jim Ritterbusch dalam catatannya.
Sementara itu, China telah memberikan sinyal untuk terus membeli minyak Iran secara besar-besaran meski mendapatkan tekanan dari AS. China saat ini telah beralih ke kapal tangker Iran untuk menghadapi sanksi AS terhadap asuransi kapal.
Departemen Energi AS (DOE) menawarkan penjualan minyak mentah sebanyak 11 juta barel dari Cadangan Minyak Strategis (SPR) sebelum memberlakukan sanksi kepada Iran. Salah satu
trader minyak mentah mengatakan penjualan tersebut digagas untuk menunjukkan pemerintah Trump membuat perhitungan untuk menahan kenaikan harga minyak sebelum berlakunya sanksi.
Sementara itu, berdasarkan data resmi, ekspor minyak mentah Arab Saudi naik menjadi 7,24 juta barel per hari (bph) pada Juni 2018 lalu.
(lav)