Kekhawatiran Pengusaha Truk dan Angkutan soal Penerapan B20

Safyra Primadhyta | CNN Indonesia
Sabtu, 01 Sep 2018 11:41 WIB
Pengusaha truk dan angkutan khawatir implementasi pencampuran 20 persen biofuel ke seluruh jenis solar (b20) merusak mesin sehingga menimbulkan tambahan biaya.
Ilustrasi B20. (CNNIndonesia/Asfahan Yahsyi)
Jakarta, CNN Indonesia -- Implementasi mandatori pencampuran biodiesel 20 persen ke produk solar (B20) subsidi maupun nonsubsidi, masih mengganjal di benak sejumlah pelaku usaha.

Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) Bidang Distribusi dan Logistik Kyatmaja Lookman mengungkapkan pemerintah telah mewajibkan pemakaian biodiesel sebesar 20 persen pada kendaraan bermotor sejak tahun 2016. Hal itu telah diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2015.

Namun, dalam praktiknya kewajiban itu tidak terlaksana. Dalam hal ini, campuran biodiesel yang digunakan kadarnya masih di bawah 20 persen.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Penerapan di kami selama ini B5 (biodiesel 5 persen) atau B10 (biodiesel 20 persen) rata-rata,'" ujar Kyatmaja kepada CNNIndonesia.com, Jumat (30/8)

Campuran biodiesel yang digunakan, menurut dia, sesuai dengan spesifikasi teknis mesin yang memang hanya bisa digunakan untuk B5 hingga B10.

"Kalau menggunakan B20 atau B30 seperti yang diwacanakan, untuk mesin lama itu perlu dilakukan upgrade. Untuk mesin yang baru perlu menggunakan mesin khusus," ujarnya.


Ia menyebut penggunaan biodiesel juga lebih boros sekitar dua persen dibandingkan solar murni. Selain itu, sifat biodiesel yang seperti pembersih memberikan masalah pada tangki truk dan tangki penyimpanan BBM lama yang cenderung kotor. Pasalnya, hal itu akan membuat kotoran naik dan terdorong ke ruang bakar. Penggantian penyaring BBM atau filter juga akan lebih cepat.

Biodiesel juga memiliki sifat mengikat air sehingga memungkinkan solar bercampur dengan air. Jika air masuk ke ruang bakar maka bakal mengaktifkan sifat korosif yang merusak mesin, terutama bagi mesin tahun 2016 ke bawah yang tidak dilengkapi dengan pemisah air (water separator). Karenanya, Kyatmaja meminta pemerintah menjamin rantai pasok biodiesel dilakukan sesuai prosedur.

"Jangan sampai SPBU mengoplos air sehingga merugikan pengusaha truk," ujarnya.

Selain itu, ada pula masalah interval perawatan yang bakal lebih cepat. Kyatmaja menyebut penggantian oli saat menggunakan biodiesel menjadi lebih cepat. Padahal, sekali mengganti oli untuk truk membutuhkan Rp2 juta.

"Tadinya 10 ribu kilometer baru mengganti oli, sekarang 7.500 km sudah perlu mengganti oli," ujarnya.


Kyatmaja juga menyesalkan, uji coba yang dilakukan pemerintah hanya dilakukan pada kendaraan kecil, bukan kendaraan besar yang merupakan konsumen terbesar solar. Uji coba, lanjut Kyatmaja, juga dilakukan di area tol. Padahal, seharusnya dilakukan di area ekstrem karena truk sering digunakan di medan yang sulit di daerah.

Ke depan, Kyatmaja berharap pemerintah lebih masif dalam mensosialisasikan B20 terutama terkait dampak dan cara mengatasinya kepada masyarakat.

"Mau enggak mau kami akan mengikuti kebijakan pemerintah. Bagi saya yang tahu, saya akan langsung membersihkan tangki-tangki truk saya tetapi teman-teman yang enggak tahu nanti mobilnya rusak semua," ujarnya.

Humas Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Organisasi Angkutan Darat (Organda) Arvin Hardian menyatakan pengusaha angkutan bisa memahami keinginan pemerintah untuk menerapkan B20. Namun, Arvin meminta agar ada rekomendasi resmi Agen Pemegang Merk (APM), Gaikindo, maupun kalangan akademisi dalam implementasi B20. Dengan demikian, jika ada masalah pada mesin angkutan karena penggunaan B20, ada jaminan pertanggungjawaban.

"Minimal kami ada garansi dari APM. Kalau kami menggunakan ini (B20) dan ada konsekuensi ini seperti apa yang bisa dilakukan. Dijamin nggak suku cadangnya," ujar Arvin.


Arvin berharap pemerintah bisa menemukan solusi atas permasalahan tersebut misalnya dengan berkoordinasi dengan APM untuk memberikan jaminan perawatan dan suku cadang.

Ia mengungkapkan saat ini terdapat 100 ribu armada angkutan, baik barang maupun penumpang dengan rata- rata konsumsi BBM sekitar 10 ribu kl per hari.

Ditemui secara terpisah, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Rida Mulyana mempertanyakan keluhan yang disampaikan oleh pengguna kendaraan bermesin diesel. Pasalnya, implementasi B20 untuk kendaraan transportasi telah dilakukan sejak dua tahun terakhir.

"Sudah dua setengah tahun kenapa baru ribut sekarang?" tanya Rida.

Rida mengingatkan bahwa pemanfaatan B20 ini sejalan dengan upaya pemerintah meningkatkan porsi energi bersih dan menekan tingkat emisi karbon. Selain itu, kebijakan B20 juga sejalan dengan upaya pemerintah untuk menekan impor minyak demi memperbaiki defisit neraca perdagangan. (agi)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER