Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) khawatir pemberian insentif dana perkebunan kelapa sawit untuk
biodiesel 20 persen (
B20) pada solar nonsubsidi atau non-PSO bakal menggerus alokasi untuk program pengembangan industri kelapa sawit lain.
Sebelumnya, perluasan penggunaan insentif telah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2018 soal Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2015 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit.
"Konsekuensinya, semakin besar dana sawit yang digunakan untuk insentif biodiesel. Takutnya, kalau nanti dananya kurang, alokasi dana replanting, karena tidak terserap, dialokasikan ke sana (insentif biodiesel)," ujar Ketua Tim Koordinasi dan Supervisi (Korsup) Pengelolaan Perkebunan Kelapa Sawit KPK Sulistyanto saat dihubungi
CNNIndonesia.com, Selasa (28/8).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berdasarkan perhitungan pemerintah, penambahan alokasi B20 non-PSO selama September-Desember 2018 dialirkan mencapai 750 ribu kl.
Dia juga mengimbau adanya perbaikan tata kelola penyaluran insentif biodiesel agar dilakukan secara adil dan tidak hanya menguntungkan pelaku usaha yang memproduksi biofuel.
Misalnya, dalam hal mekanisme verifikasi dari Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) terhadap produksi biofuel.
Kemudian, dasar penentuan biaya konversi minyak sawit mentah ke biodiesel juga perlu dikawal. Pasalnya, penetapan biaya konversi yang lebih tinggi dari harga pasar tentu akan menguntungkan perusahaan produsen biofuel.
Saat ini, lanjut Sulistyanto, biaya konversi ditetapkan sebesar US$100 per ton, menurun dari sebelumnya US$125 per ton.
Berdasarkan informasi yang diperoleh Sulistyanto, dengan lelang terbuka, PT Pertamina (Persero) bisa mendapatkan biaya konversi di bawah US$90 per ton. Namun, informasi ini belum dikonfirmasi oleh Pertamina.
"Kami belum mengkaji dan masuk ke sana," ujarnya.
Sulistyanto mengungkapkan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) sebenarnya telah melakukan perbaikan alokasi penggunaan dana sawit tahun ini.
Dalam hal ini, alokasi pembayaran insentif biodiesel turun dari 90 persen menjadi 70 persen. Kemudian, alokasi dana untuk peremajaan perkebunan sawit (replanting) meningkat dari 5 persen menjadi 22 persen. Setelah itu, porsi untuk pengembangan SDM, penelitian dan pengembangan, sarana dan prasara, serta promosi masing-masing juga meningkat menjadi dua persen.
KPK juga telah meminta pemerintah untuk menyusun sistem verifikasi ekspor yang terkoneksi dengan sistem kepabeanan.
"Saat ini, mereka (BPDP-KS) masih rekonsiliasi data antara BPDP-KS dan bea cukai," ujarnya.
Namun, KPK masih menaruh perhatian pada minimnya penyaluran dana sawit untuk replanting kepada petani yang disebabkan oleh buruknya data admisnistrasi.
Per akhir Juni 2018, BPDP-KS mencatat realisasi peremajaan perkebunan baru mencakup 5.384 kebun seluas 12.063 hektar atau senilai Rp288 miliar. Padahal, pemerintah menargetkan peremajaan perkebunan kelapa sawit mencapai 180 ribu hektar hingga akhir tahun ini.
Untuk itu, KPK mendorong pemetaan perkebunan sawit rakyat sebagai pra-kondisi untuk bisa melakukan replanting. Salah satunya telah dilakukan pemetaan menggunakan drone di Berau, Kalimantan Timur.
"Kami dorong dana BPDP-KS untuk juga dialokasikan ke sana (pemetaan sawit rakyat)," ujarnya.
Apabila perkebunan sawit rakyat sudah clean and clear, dalam hal ini telah memiliki sertifikat dan tidak masuk kawasan hutan, KPK mendorong untuk segera diberikan Surat Tanda Daftar Budidaya. Harapannya, ke depan, perkebunan terkait bisa mendapatkan sertifikat penerapan sawit berkelanjutan seperti ISPO atau RSPO.
"Kalau masih ada sawit rakyat yang masuk kawasan hutan kami dorong skema penyelesaiannya seperti apa," ujarnya.
Selain itu, KPK juga mendorong Kementerian Pertanian untuk mengusulkan program-program pengembangan industri sawit yang bisa menggunakan dana BPDP-KS.
(lav)