Berutang Rp3,5 Triliun, Suplai Obat BPJS Bisa Terganggu

Tim | CNN Indonesia
Rabu, 19 Sep 2018 14:01 WIB
Program Jaminan Kesehatan Nasional yang dikelola BPJS Kesehatan terancam mengalami kendala suplai obat-obatan dan alat kesehatan karena tunggakan utang.
Program Jaminan Kesehatan Nasional yang dikelola BPJS Kesehatan terancam mengalami kendala suplai obat-obatan dan alat kesehatan karena tunggakan utang. (stevepb/Pixabay)
Jakarta, CNN Indonesia -- Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan terancam mengalami kendala suplai obat-obatan dan alat kesehatan menjelang akhir 2018.

Gabungan Perusahaan Farmasi (GP.Farmasi) Indonesia melaporkan utang jatuh tempo obat dan alat kesehatan JKN yang belum dibayar mencapai Rp3,5 triliun per Juli 2018. Nilai itu disebut masih akan terus membesar dari waktu ke waktu sesuai dengan aktivitas suplai sampai akhir tahun ini.

Hal itu dilaporkan Pengurus Pusat GP Farmasi Indonesia dalam surat bernomor 098/Ext./PP-GPFI/VII/2018 yang ditujukan untuk Menteri Kesehatan RI Nila Moeloek beberapa waktu lalu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


"Periode pembayaran utang semakin panjang, dari 90 hari pada 2016 menjadi 120 hari pada semester I 2018," demikian tertulis dalam surat yang ditandatangani Ketua Umum GP-Farmasi Tirto Kusnadi.

Hal itu menyebabkan Pedagang Besar Farmasi-Penyalur Alat Kesehatan (PBF-PAK) dan industri farmasi mulai kesulitan aliran dana, sehingga suplai obat dan alat kesehatan bisa terganggu pada semester II 2018.

Sengketa klaim (claim dispute) antara fasilitas kesehatan dan BPJS Kesehatan dinilai akan menjadi bom waktu. Korban terbesar adalah pihak PBF dan PAK karena tidak ada kejelasan status pembayaran.


"Saat claim dispute antara fasilitas kesehatan dan BPJS Kesehatan, biasanya GP Farmasi selalu menjadi korban dengan status pembayaran yang tidak jelas dan menghabiskan waktu lebih dari 6 bulan," ungkapnya.

Selain itu, PBF dan PAK juga memikul beban biaya dengan hadirnya aturan wajib pajak pungut (Wapu). Pasalnya, setiap penjualan obat dan alat kesehatan PBF-PAK kepada Faskes pemerintah dipungut pajak pertambahan nilai (PPN) 10 persen dan pajak penghasilan (PPh22) sebesar 1,5 persen dengan estimasi Rp1,5 triliun.

Sekitar Rp1,5-2 triliun dana PPN PBF dan PAK berstatus lebih bayar ke pemerintah yang harus selalu direstitusi setiap tahunnya. Proses restitusi PPN menghabiskan waktu sekitar 2 tahun. Hal ini menambah beban modal kerja dan sumber daya perusahaan, serta menambah biaya bunga modal kerja setara 3-4 persen dari nilai penjualan.


Maka itu, GP-Farmasi menunggu solusi dari pemerintah atas masalah tersebut. Dia berharap pemerintah mengucurkan dana tambahan yang sifatnya segera, dan memeriksa birokrasi administrasi pembayaran yang rumit dan berbelit-belit. Pembayaran utang secara langsung bisa digunakan oleh distributor untuk tetap memberi layanan distribusi obat dan alat kesehatan.

Pihaknya masih menantikan solusi nyata dari Kementerian Keuangan untuk membantu beban para pemasok obat-obatan dan alat kesehatan program JKN.

Menurut dia, kemampuan mendukung kondisi ketersediaan obat yang merata akan sangat terpengaruh di seluruh rantai pasokan, mulai dari produksi, distribusi, hingga pelayanan kesehatan.

(lav/bir)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER