ANALISIS

Menyoal Mandatori Perluasan B20 yang Dikebut Jokowi

Tim | CNN Indonesia
Kamis, 27 Sep 2018 14:17 WIB
Hampir sebulan kebijakan perluasan mandatori campuran biodiesel ke minyak jenis Solar (B20) berjalan sejak berlaku 1 September. Namun, implementasi belum ideal.
Hampir sebulan kebijakan perluasan mandatori campuran biodiesel ke minyak jenis Solar (B20) berjalan sejak berlaku 1 September. Namun, implementasi belum ideal. (ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan).
Jakarta, CNN Indonesia -- Hampir sebulan kebijakan perluasan mandatori campuran biodiesel ke minyak jenis Solar (B20) berjalan sejak berlaku 1 September lalu. Namun, implementasi kebijakan nyatanya jauh panggang dari api.

Tak dipungkiri, dalam perluasan mandatori B20, pemerintah dikejar waktu untuk menekan impor Solar demi mengatasi defisit neraca dagang. Maka, pemerintah segera menetapkan waktu pelaksanaan pada 1 September 2018 atau hanya beberapa bulan setelah kebijakan diusulkan kepada Presiden Joko Widodo.

Setelah berjalan, pelaksana kebijakan menemui sejumlah kendala, baik produsen biodiesel maupun penyalur bahan bakar minyak (BBM).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro menilai terseoknya implementasi penerapan biodiesel, karena pihak-pihak yang terkait belum sepenuhnya siap saat kebijakan mulai berlaku.

"Saya kira, ini mencerminkan ketidaksiapan para pemangku kepentingan terkait," ujar Komaidi saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (26/9).

Menurut Komaidi, secara teknis substitusi solar dengan biodiesel untuk jangka pendek mudah dilakukan. Pencampurannya juga tidak memerlukan teknologi canggih.

Namun, kebijakan tersebut tetap membutuhkan persiapan yang matang oleh banyak pihak, mulai dari petani sawit, produsen Bahan Bakar Nabati (BBN) jenis Fatty Acid Methyl Esters (FAME), pemasok Bahan Bakar Minyak (BBM), hingga pengguna.


Di sisi lain, Pengamat kebijakan publik Agus Pambagio menilai pemerintah mengambil langkah yang tepat dengan segera melakukan berbagai penyesuaian aturan berdasarkan masukan pihak-pihak di lapangan.

"Kebijakan bisa dibuat cepat asal dia tidak keluar dari wadah intinya, Undang-undang dan turunannya. Peran pengawasan menjadi penting, ketika tidak diawasi maka tidak akan ada yang tahu siapa yang bertanggungjawab," ujarnya.

Konsultasi Publik Penting

Idealnya, Agus mengungkapkan penerapan kebijakan pemerintah seharusnya didahului dengan melakukan konsultasi publik yang melibatkan seluruh pihak berkepentingan.

Dengan demikian, pada saat pelaksanaan, aturan telah mengakomodir sebagian besar kendala yang mungkin dihadapi dalam pelaksanaan. Di sisi lain, langkah ini berisiko membuat penerapan kebijakan semakin lama karena akan muncul perdebatan antar pihak yang berkepentingan yang ingin kepentingannya diakomodir.

Di era pemerintahan Joko Widodo, lanjut Agus, pemerintah ingin penerapan kebijakan bisa diterapkan dengan cepat, tanpa melakukan konsultasi publik yang terperinci. Akibatnya, pelaksanaan kebijakan tersebut sering kali menemui kendala di lapangan yang sebelumnya tidak dipikirkan pada waktu merumuskan kebijakan.

"Ketika diterapkan, Menteri terkait harus waspada dengan memonitor dengan rinci pelaksanaannya. Tidak bisa melepas begitu saja. Kalau melepas begitu saja pasti bermasalah," ujarnya.

Dalam kondisi ini, di sinilah peran pemerintah, terutama kementerian teknis, sebagai regulator dan pengawas. Kementerian terkait harus sigap melakukan penyesuaian aturan demi mengatasi kesulitan pelaksanaan di lapangan.


Dalam implementasinya program B20, masalah ketersediaan pasokan Bahan Bakar Nabati (BBN) di lokasi-lokasi pencampuran misalnya di Terminal Bahan Bakar Minyak (TBBM) Badan Usaha BBM, seperti PT Pertamina (Persero), menjadi kendala terbesar.

Berdasarkan data Pertamina, hingga 25 September 2018, perseroan baru menerima pasokan sejumlah 224.607 kiloliter (kl) atau sekitar 62 persen dari target periode 1-25 September 2018 sebesar 359.734 kl.

Padahal, perseroan mengklaim sebanyak 112 TBBM yang tersebar di seluruh Indonesia telah siap menyalurkan biodiesel yang tahun ini diperkirakan akan mencapai 3,02 juta kl.

Direktur Logistik, Supply Chain dan Infrastruktur Pertamina Gandhi Sriwidodo mengungkapkan penyaluran B20 belum maksimal karena sejumlah TBBM perseroan tidak menerima pasokan FAME dari pemasok. Sebagian besar TBBM tersebut berada di wilayah Indonesia Timur.

"Pada periode 1-25 September 2018, penyaluran B20 belum bisa dilakukan secara maksimal disebabkan terlambatnya suplai fame dari beberapa Badan Usaha Bahan Bakar Nabati (BU BBN) ke Terminal Bahan Bakar Minyak Tanjung Uban, Bau-bau, Wayame, Manggis, Tanjung Wangi, Kupang, Makassar, Bitung, dan STS Balikpapan, dan STS Kotabaru ," ujar Gandhi dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Gedung DPR kemarin.

Perseroan sudah melaporkan masalah ini kepada pemerintah melalui rapat koordinasi yang dilakukan setiap pekan. Pasalnya, perseroan tidak ingin di kemudian hari pemerintah menagihkan sanksi sebesar Rp6 ribu per liter karena tidak menyalurkan B20.

Sebagai catatan, ketentuan mengenai sanksi jika tidak menyalurkan B20 telah diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 41 tahun 2018 tentang penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati jenis biodiesel dalam kerangka pembiayaan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Kelapa Sawit.

Sementara, Ketua Umum Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) MP Tumanggor mengungkapkan produsen biodiesel terus berkoordinasi dengan pemerintah untuk mengatasi kondisi di lapangan. Dalam implementasinya, terlihat bahwa ada beberapa hal yang belum diatur pelaksanaan teknisnya seperti ketentuan mengenai pengenaan sanksi penyaluran secara terperinci dan ketentuan pengecualian sanksi.

Dalam rapat, produsen biodiesel menyampaikan kendala pengiriman di lapangan mulai dari waktu pemesanan yang terlalu mepet hingga kondisi kondisi cuaca.


"Kalau, misalnya barang tidak sampai karena ombak besar apa betul ombaknya besar? Nanti dilihat satelit," ujarnya.

Produsen biodiesel, lanjut Tumanggor, siap dicek oleh tim dari pemerintah terkait kepatuhan masalah pengiriman pasokan biodiesel. Sesuai ketentuan, jika produsen biodiesel yang telah ditunjuk mangkir dari kewajibannya maka juga akan didenda Rp6.000 per liter.

Direktur Jenderal Minyak dan Gas (Migas) Djoko Siswanto mengungkapkan pemerintah masih perlu menyempurnakan sejumlah aturan teknis. Misalnya, mengenai kondisi kahar bagi produsen BBN dan penyalur BBM sehingga pemerintah memiliki pegangan terkait ketentuan pengenaan sanksi.

Hingga kini, pemerintah belum menjatuhkan sanksi pada badan penyalur BBM maupun produsen BBN meski minyak solar murni masih beredar di pasar karena masih dilakukan evaluasi.

Berdasarkan informasi yang diperolehnya, masalah keterlambatan pengiriman pasokan disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satunya, pengadaan kapal yang membutuhkan waktu.

"Saat harus mengangkut (FAME) ke depo BBM tertentu di pulau tertentu kan harus menggunakan kapal. Pengadaan kapal kan tidak bisa satu hari, dua hari, tetapi bisa 14 hari," ujarnya.

Djoko mencontohkan, ada dua Badan Usaha BBM (BUBBM) yang bertugas memasok biosolar ke perusahaan batu bara PT Kaltim Prima Coal (KPC). Namun, BU BBM tersebut masih menunggu pasokan FAME yang dikirimkan melalui kapal. Padahal, kapal hanya berlayar setiap dua pekan.

Untuk mengatasi kendala tersebut, dalam rapat koordinasi yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution pekan ini, pemerintah memutuskan bahwa pemesanan FAME paling lambat dilakukan BU BBM 14 hari sebelum jadwal pengiriman.

Analisis: Menyoal Mandatori perluasan B20 yang Dikebut JokowiPresiden Joko Widodo dan Menteri Pertanian Amran Sulaeman meresmikan peremajaan sawit rakyat di Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatra Utara. (Humas Kemenko Perekonomian).


Kemudian, untuk mengefisienkan waktu pengiriman, pemerintah juga akan mengevaluasi ulang alokasi pengadaan fame ke BU BBM yang telah ditetapkan sebelumnya. Dalam artinya, pemasok biodiesel ke badan usaha penyalur BBM diupayakan yang terdekat agar pengiriman pasokan bisa lebih cepat.

Sebagai catatan, pemerintah sebelumnya telah mengatur alokasi pengadaan biodiesel ke BU BBM. Pertama, dalam keputusan Menteri ESDM Nomor 1936 K/10/MEM/2018 tentang Pengadaan Bahan Bakar Nabati Jenis Biodiesel untuk Pencampuran Jenis Bahan Bakar Minyak Umum Periode September-Desember 2018.

Selanjutnya, pada Keputusan Menteri ESDM Nomor 1935 K/10/MEM/2018 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri ESDM Nomor 1803 K/10/MEM/2018 tentang Penetapan Badan Usaha Bahan Bakar Nabati Jenis Biodiesel dan Alokasi Besaran Volume untuk Pengadaan Bahan Bakar Nabati Jenis Biodiesel pada PT Pertamina (Persero) dan PT AKR Corporindo Tbk Periode Mei-Oktober 2018.

Dalam kedua beleid tersebut diatur alokasi pengadaan biodiesel untuk minyak solar pemenuhan kewajiban publik (PSO) pada Pertamina mencapai 1,91 juta kl dan PT AKR Corporindo Tbk sebesar 40 ribu kl.

Sementara itu, pencampuran biodiesel untuk minyak Solar non PSO akan dilakukan oleh sebelas badan usaha penyalur BBM antara lain Pertamina sebanyak 595.000 kl, AKR sebesar 120.800 kl, PT Exxonmobile Lubricants Indonesia sebesar 73 ribu kl, PT Petro Andalan Nusantara sebesar 60 ribu kl, PT Jasatama Petroindo sebesar 26.400 kl, dan PT Energi Coal Prima 26.400 kl.

Berikutnya, PT Shell Indonesia sebesar 21.040 kl, PT Gasemas 10 ribu kl, PT Cosmic Indonesia 1.640 kl, PT Cosmic Petroleum Nusantara 4.309 kl, dan PT Petro Energy 1.600 kl.

Masing-masing badan penyalur BBM tersebut akan mendapatkan pasokan dari produsen biodiesel yang telah ditunjuk sesuai kebutuhan yang telah ditetapkan. Adapun pengadaan biodiesel dilakukan oleh 19 produsen berdasarkan keputusan Menteri ESDM antara lain PT Wilmar Bioenergi Indonesia, PT Wilmar Nabati Indonesia, PT Multi Nabati Sulawesi, PT Pelita Agung Agrindustri, dan PT Ciliandra Perkasa.



Selanjutnya, PT Musim Mas, PT Inti Benua Perkasatama, PT Sukajadi Sawit Mekar, PT Darmex Biofuels, PT Bayas Biofuels, PT Dabi Biofuels, PT Smart Tbk, PT Sinarmas Bio Energy, PT Cemerlang Energi Perkasa, PT Kutai Refinery Nusantara, PT Tunas Baru Lampung Tbk, PT Permata Hijau Palm Oleo, PT Batara Elok Semesta Terpadu, dan PT LDC Indonesia.

Ke depan, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menegaskan bahwa pemerintah akan terus memantau perkembangan pelaksaan program B20.

"Saya kira dalam waktu satu minggu ke depan itu (pelaksanaan) sudah penuh betul," ujar Darmin pekan ini.

Jika berjalan optimal, pemerintah mengharapkan dapat menghemat devisa negara hingga US$5,5 miliar per tahun dari berkurangnya impor Solar yang disubstitusi oleh FAME. Hal ini penting mengingat Indonesia masih menghadapi tekanan dari defisit neraca dagang.

Pelaksanaan program yang belum optimal membuat pemerintah memutuskan untuk kembali melakukan rekonsiliasi data potensi penghematan impor Solar untuk periode September - Desember 2018 yang tadinya digembar-gemborkan bisa mencapai kisaran US$2 triliun hingga US$2,3 triliun. Hingga kini, rekonsiliasi data masih dilakukan mengingat perbaikan implementasi B20 masih berjalan. (sfr/lav)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER