Jakarta, CNN Indonesia -- Indonesia akan menjadi tuan rumah hajatan besar, Pertemuan Tahunan
IMF-World Bank, yang akan dilaksanakan di Bali, 8 - 14 Oktober 2018 nanti. Sejumlah persiapan dilakukan pemerintah agar pelaksanaan perdananya di Tanah Air mengundang decak kagum para delegasi dari 189 negara anggota.
Namun, sebelum memasuki pertemuan tersebut, ada baiknya kita mengenal seluk beluk lahirnya perhelatan ini. Dirangkum
CNNIndonesia.com dari berbagai sumber, pertemuan pertama kali diselenggarakan di Washington, Amerika Serikat, 1946 silam, usai perang dingin melanda.
Saat itu, sejumlah negara mengalami kerusakan parah akibat perang. Presiden AS ke-33 Harry S Truman berharap pertemuan tahunan dapat memberi solusi untuk membantu dunia dalam menyelesaikan masalah yang timbul akibat perang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Truman juga berharap pertemuan itu akan menghasilkan solusi dalam mewujudkan pembangunan ekonomi yang stabil, sehingga bangsa-bangsa di dunia bisa berdagang dan memajukan perdamaian. Dari sana, pertemuan tahunan terus berlanjut hingga saat ini.
Dalam pertemuan tahunan, sejumlah masalah dibahas. Pertemuan Tahunan IMF-World Bank digelar satu tahun sekali di Amerika Serikat dan 3 tahun sekali diselenggarakan di negara anggota. Kali ini di Bali, Indonesia.
Di Bali, nanti, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut B Panjaitan menyebut bahwa pemerintah akan membawa topik terkait ekonomi syariah, dukungan terhadap pelaku usaha kecil menengah (UKM) dan strategi keuangan menangani risiko bencana. Isu lainnya, ia melanjutkan, terkait pengembangan ekonomi digital, serta perang dagang.
Tuai ProtesPertemuan Tahunan IMF-World Bank umumnya dihadiri 189 menteri keuangan dari negara anggota dan gubernur bank sentral. Namun, pertemuan bergengsi di bidang ekonomi ini tak luput dari kontroversi.
Salah satu kontroversinya, pada penyelenggaraan pertemuan tahunan 2015 lalu yang diselenggarakan di Lima, Peru. Saat itu, pertemuan diwarnai aksi unjuk rasa.
Sekitar 2.000 orang pengunjuk rasa berteriak marah. Bahkan, mereka membakar bendera AS yang menjadi basis negara lokasi IMF dan World Bank. Mereka menuding IMF dan World Bank sebagai teroris bidang ekonomi dunia.
Bukan tanpa alasan. Mereka menyebut IMF dan World Bank telah memaksa Pemerintah Peru menghapus program kemiskinan untuk rakyat jika pemerintah mereka masih ingin mendapatkan akses pinjaman guna mengatasi krisis yang sedang dihadapi.
Tuduhan mereka dasarkan pada kebijakan deregulasi yang dilakukan oleh Presiden Peru Alberto Fujimoro supaya Peru kian menarik bagi investor.
Sejalan dengan deregulasi yang dilakukan, pinjaman Peru ke World Bank naik. Periode 1990-2015, World Bank telah menyalurkan pinjaman lebih dari US$7 miliar untuk Peru.
Membanjirnya investasi asing tersebut dinilai oleh kalangan aktivis telah merusak standar lingkungan dan kehidupan sosial di negara tersebut. Penelitian dari lembaga
think tank independen, Oackland Institute, menyoroti peran penting World Bank atas terjadinya kerusakan tersebut.
Mereka menuduh World Bank melalui lembaga internasional, International Finance Corporation (IFC) dan Badan Penjamin Investasi Multilateral telah ikut mengembangkan sektor pertambangan dan agribisnis di Peru.
Karena pengembangan tersebut, Peru menjadi negara berbahaya bagi aktivis lingkungan dan lahan yang menentang perampasan tanah untuk kegiatan pertambangan dan penebangan hutan oleh investor.
Selain di Peru, protes saat penyelenggaraan Pertemuan Tahunan IMF-World Bank juga pernah terjadi di negara asalnya sendiri. Yakni, pada 2000 lalu. Sama dengan di Peru, pengunjuk rasa juga menganggap IMF dan World Bank sebagai dua lembaga perusak.
Setiap bantuan pinjaman yang mereka berikan ke negara yang mengalami masalah justru membuat kondisi mereka memburuk. Pasalnya, pinjaman disertai dengan syarat reformasi ekonomi dan kebijakan keuangan di suatu negara.
Kerusakan ekonomi juga pernah dilakukan oleh IMF di Indonesia. Saat krisis ekonomi 1997-1998 melanda Indonesia, Presiden Soeharto meminta bantuan kepada IMF guna mengatasi kondisi ekonomi dalam negeri yang terpuruk akibat pelemahan parah rupiah.
Tapi tidak mudah bagi Soeharto untuk mendapat bantuan pinjaman senilai US$23 miliar tersebut. IMF mensyaratkan Soeharto melakukan deregulasi. Salah satunya mencabut peran Bulog dalam menjaga harga pangan di dalam negeri.
Luhut mengatakan masyarakat tak perlu mengaitkan masalah yang dibuat IMF tersebut dengan perhelatan di Bali, Oktober nanti.
Menurutnya, IMF sudah berubah. Luhut meminta masyarakat untuk memanfaatkan dampak ekonomi besar yang bisa timbul setelah pertemuan tersebut di Indonesia.
(bir)