Jakarta, CNN Indonesia --
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mendesak Bank Dunia untuk mempertanggungjawabkan proyek mereka yang gagal dan memiskinkan rakyat Indonesia. Departemen Kebijakan dan Pembelaan Hukum Lingkungan Eksekutif Nasional Walhi Edo Rahman mengatakan salah satu tanggung jawab harus mereka lakukan pada Proyek Waduk Kedung Ombo.
Proyek tersebut telah membuat masyarakat tergusur dan menimbulkan kemiskinan sampai dengan tiga generasi. "Kami meminta Bank Dunia untuk bertanggung jawab terhadap kasus itu. Tidak boleh mereka lepas tangan begitu saja. Dengan adanya pinjaman yang diberikan menyebabkan dampak hingga tiga generasi terjadi," ujar Edo dalam konferensi pers Walhi di Jakarta, Jumat (5/10).
Waduk Kedung Ombo dibangun pada 1985 hingga 1991. Proyek tersebut menelan dana US$283 juta tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari total kebutuhan dana tersebut, US$156 juta diantaranya dipenuhi dari pinjaman Bank Dunia. Sementara itu, Indonesia mengeluarkan dana US$105,8 juta.
Berdasarkan hasil riset Walhi dan tim Katadata, walau sudah berjalan 30 tahun lebih, pembangunan waduk masih menyisakan banyak persoalan akibat penanganan korban pembangunan yang belum tuntas sampai sekarang.
Dari hasil riset yang mereka lakukan, setelah 30 tahun beroperasi, masyarakat korban penggusuran proyek masih menghadapi kesulitan ekonomi dan sosial. Sebanyak 98 persen responden yangmerekasurvey mengaku tidak memiliki tabungan dan 91 persen responden tidak memiliki pekerjaan tetap. Kemudian, 76 persen responden tidak lagi memiliki lahan pertanian produktif.
Kemudian, seluruh warga yang tergusur juga merasa fasilitas yang ada sejak pembangunan Waduk Kedung Ombo tidak sesuai harapan. Untuk warga tergusur yang menjadi transmigran, sebagian besar merasa fasilitas yang ada tidak tersedia dengan baik.
Di tempat yang sama, Direktur Riset Katadata Heri Susanto mengungkapkan kemiskinan berkepanjangan tersebut disebabkan oleh berbagai faktor.
Pertama, lahan pertanian yang hilang.
"Lahan pertanian produktif yang dimiliki warga hilang atau berkurang karena terendam air waduk. Padahal, sebanyak 87 persen warga merupakan petani," ujar Heri.
Kedua, penyuluhan yang dilakukan minim. Kala itu pekerjaan alternatif yang ditawarkan adalah nelayan tambak tetapi tidak ada penyuluhan dan pelatihan. Warga transmigran juga tidak mendapatkan penyuluhan pertanian.
Ketiga adalah akses masyarakat ke fasilitas pelayanan publik terputus. Jalanan rusak tanpa penerangan dan tidak beraspal sehingga menyulitkan warga dan angkutan umum.
Persoalan ganti rugi lahan juga menjadi salah satu penyebab kemiskinan yang dialami warga. Masyarakat yang tergusur lahannya menerima ganti rugi yang tak sesuai bahkan ada yang tidak menerima ganti rugi.
Melihat hal itu, Heri menilai Bank Dunia dan pemerintah tidak mengantisipasi dampak negatif yang ditimbulkan oleh pembangunan proyek, baik dampak sosial maupun dampak ekonomi.
Minimnya pengawasan Bank Dunia dalam proses ganti rugi menyebabkan kekacauan dalam proses ganti rugi yang sempat dibawa ke pengadilan dan menjadi sorotan dunia internasional.
Riset dilakukan dengan metode riset kualitatif berupa
Focus Group Discussion dan wawancara mendalam, serta metode kuantitatif (survey lapangan) dengan melibatkan 200 orang responden yang terkena dampak pembangunan proyek baik di Jawa Tengah maupun di Bengkulu, sebagai daerah tujuan transmigrasi korban penggusuran proyek tersebut.
Margin error riset sebesar 10 persen.
Ke depan, Walhi meminta Bank Dunia tidak lagi mendanai proyek infrastruktur besar dan proyek yang mengakibatkan penggusuran baik di Indonesia dan negara lain.
Selanjutnya, pemerintah juga harus melakukan moratorium proyek-proyek infrastruktur yang berdampak pada penggusuran masyarakat serta mengeluarkan kebijakan yang jelas dan adil bagi masyarakat yang kena gusur ke daerah sekitar waduk.
(sfr/agt)