Proyek Mega Cita Citarum yang 'Mangkrak' di Era SBY

Yuli Yanna Fauzie | CNN Indonesia
Kamis, 05 Apr 2018 16:08 WIB
Pemerintah sudah menyusun peta jalan dan menggelontorkan dana untuk penyelamatan Citarum. Namun hingga kini, sungai itu masih menjadi limbah raksasa industri.
Ilustrasi. (Foto: Anadolu Agency/Eko Siswono Toyudho)
Jakarta, CNN Indonesia -- Abdul Malik Sadat mungkin sadar persoalan limbah di Sungai Citarum tak jua selesai hingga hari ini.

Abdul bekerja di Bappenas selama 15 tahun dan kini menjabat sebagai Direktur Direktorat Pengairan dan Irigasi. Dia mengatakan sebenarnya peta jalan yang dikeluarkan lembaga tersebut jelas dan bukan sekadar mimpi.

"Kalau di Bappenas, laporan akhir lebih ke seberapa jauh dampaknya, tapi sorry to say memang belum berhasil," ucap Abdul kala berbincang dengan CNNIndonesia.com, pertengahan Maret lalu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) sebelumnya menerbitkan peta jalan 2009-2014 bernama Cita Citarum. Lembaga itu juga menerbitkan aturan lainnya pada 2015 untuk soal serupa. Namun, dokumen itu macam tak berdaya melawan '1001' masalah di sungai tersebut.


Saat itu, pemerintahan dipimpin oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sedangkan, Bappenas dipimpin oleh Armida S. Alisjahbana, seorang guru besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjajaran.

Komponen peta jalan Cita Citarum sendiri dirumuskan menjadi lima kunci utama. Ini terdiri dari kelembagaan dan perencanaan Integrated Water Resources Management; pengembangan pengelolaan sumber daya air; penggunaan dan pembagian air; perlindungan lingkungan; serta manajemen bencana.

Abdul mengatakan, ada banyak hal yang membuat proyek mega dengan estimasi pendanaan mencapai US$3,5 miliar atau sekitar Rp40 triliun itu jalan di tempat.

Ini gara-gara lemahnya implementasi dari pelaksana, banyaknya kewenangan politik yang tak mendukung, hingga 'cekaknya' kantong pendanaan. Selain itu, ada pula minimnya peran serta masyarakat dan industri yang bergantung hidup pada Sungai Citarum.


Situs resmi proyek itu menyatakan dalam komponen penggunaan dan pembagian air, misalnya, upaya yang dilakukan adalah mengatur secara tegas soal penggunaan air bagi seluruh pengguna. Selain itu, menyelesaikan pelbagai konflik dalam penggunaan komoditas itu dari Sungai Citarum.

Sedangkan dari komponen perlindungan lingkungan, sejumlah upaya yang dilakukan adalah memprioritaskan peningkatan daerah tangkapan air serta meminimalkan polusi.

"Meminimalkan tingkat polusi rumah tangga, industri, dan pertanian yang dibuang ke badan sungai," demikian Cita Citarum.

Walaupun demikian, Abdul menilai kerja dari kementerian atau lembaga, Pemprov, Pemkab, Pemkot, hingga pihak-pihak lain yang terlibat masih jauh dari harapan.


Pasalnya, gerakan membersihkan sungai yang menjadi 'jantung' air masyarakat Jawa Barat dan DKI Jakarta itu, tak konsisten dilakukan.

Misalnya, program edukasi untuk masyarakat serta pembangunan sanitasi dan tempat pembuangan sampah, tak dilaksanakan dengan berkelanjutan. Padahal, peta jalan telah menjabarkan aksi hingga per titik di Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum.

"Akhirnya ini hanya jadi kegiatan selfie saja (ketika sesekali melakukan aksi)," kata dia.
Proyek 'Macan Kertas' Penyelamatan CitarumPemandangan di kawasan sekitar Sungai Citarum. (Foto: Anadolu Agency/Eko Siswono Toyudho)

Belum lagi, banyak kebijakan yang akhirnya tak terealisasi sesuai dengan janji, seperti yang diucapkan oleh Pemprov, Pemkab, hingga Pemkot.

"Misalnya, semua janji politis pasti mengarah ke uang, seperti menyediakan lapangan kerja, jaminan pendidikan dan kesehatan, proyek transportasi, tapi nyatanya masalah air ini terlalu horizontal dan belum jadi prioritas," katanya.

Sumber Dana untuk Proyek

Lalu, penyelamatan pun tersandung minimnya ketersediaan anggaran. Cita Citarum sendiri memetakan sumber uang bisa didapat dari banyak pos.

Di antaranya adalah APBN yang diambil dari anggaran kementerian/lembaga, pinjaman utang luar negeri, hibah luar negeri, hibah kepada daerah, hingga APBD.

Bahkan, perencanaan juga memproyeksi pemerintah pun bisa mendapat dana dari lembaga donor internasional, seperti Asian Development Bank (ADB) hingga Bank Dunia.


Selain itu, ada pula International Bank for Reconstruction and Development (IBRD), International Development Association (IDA), International Finance Corpotation (IFC), Multilateral Investment Guarantee Agency (MIGA), dan International Center for Settlement of Investment Disputes (ICSID).

Sayangnya, pemetaan itu tak semua bisa dijangkau.

Bahkan, anggaran yang telah nyata bisa didapat untuk revitalisasi Sungai Citarum ternyata hanya kebagian sedikit porsi dari program-program lain, bahkan dari ketentuan yang telah diproyeksinya di dalam roadmap.

"Ada (program) Citarum Lestari, sudah dianggarkan uangnya Rp50 miliar, tapi kalau dibandingkan dengan program lain, mungkin jumlah ini kecil," jelasnya.

Data Cita Citarum mengatakan setidaknya dibutuhkan dana Rp127,4 miliar untuk pengembangan dan pelaksanaan pengelolaan sampah di Bandung, Bekasi, dan Cikarang.

Artinya, baru untuk tiga kota saja sudah dibutuhkan dana dua kali lipat dari yang telah disediakan pemda.


Terkait dana, Menko Bidang Kemaritiman Luhut Pandjaitan sempat mengatakan Asian Development Bank (ADB) pada 2015 pernah menawarkan pinjaman Rp200 triliun dengan jangka waktu 20 tahun untuk merevitalisasi sungai tersebut.

Tetapi, dia menilai bantuan tersebur terlalu besar untuk revitalisasi Sungai Citarum. Revitalisasi dapat dilakukan lebih murah dengan melibatkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) serta Polri.

Di sisi lain, Peta jalan Cita Citarum telah lama menyatakan bahwa sungai itu dalam bahaya. "Masyarakat kota, warga desa dan kalangan industri," demikian salah satu bunyi dokumen itu, "Telah memperlakukan Citarum sebagai tempat sampah dan pembuangan limbah."
Para Penyumbang Limbah

Soal ini, Bappenas pun turut menyoroti para 'penyumbang' limbah di kalangan masyarakat hingga industri. Di antaranya kelompok tani yang menggunakan lahan dengan tak tepat, seperti menanam kentang dan wortel di hulu sungai.

Penggunaan lahan pertanian dinilai tak sesuai sehingga lahan kritis dan kadar erosi kian tinggi. Hal itu mengakibatkan sedimentasi di palung sungai dan waduk, memunculkan limbah alami di muara Citarum.


Sedangkan dari industri, kewajiban mengenai Instalansi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) tak juga dijalankan.

Tercatat, hanya sekitar 10 persen pabrik-pabrik industri yang didominasi oleh sektor tekstil yang memiliki IPAL. "Apakah IPAL pabrik dilakukan? Belum," kata Abdul.

Alhasil, limbah berwarna-warni dengan kadar racun tinggi yang tak dikelola itu diduga dibiarkan mengalir ke Sungai Citarum. Hal itu membuat kualitas komponen ekosistem sungai terjun dari ambang batas seharusnya.

Proyek 'Macan Kertas' Penyelamatan CitarumSuasana di Citarum. (Foto: ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi)

Tak hanya itu, kajian Cita Citarum mencatat sekitar 98 persen industri di Cekungan Bandung yang menggantungkan hidupnya dari sumber air Citarum, justru mengambil air tanah dengan berlebihan.

Kajian terakhir Bappenas pada 2010, sampah dan limbah masyarakat-industri ini mencapai 250 ribu meter kubik per tahun di Citarum bagian tengah. Limbah itu sampai masuk ke Waduk Saguling yang merupakan salah satu sumber Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di Jawa Barat.

Kini, revitalisasi Sungai Citarum dipegang langsung oleh Presiden Jokowi. Dia pun membentuk tim baru dengan menunjuk Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan untuk menjadi 'panglima' melawan pencemaran Sungai Citarum.

[Gambas:Youtube]

Tujuh Tahun Lagi

Dengan tujuh tahun yang terbuang, pemerintah memerkirakan butuh 7 tahun pula untuk mendapatkan hasil dari revitalisasi Sungai Citarum jilid dua.

Pasalnya, meski melanjutkan kembali program yang telah dirumuskan Bappenas, namun eksekusi harus dilakukan dari nol lagi.

Deputi Bidang Koordinasi SDM, Iptek, dan Budaya Maritim Kemenko Maritim Safri Burhanuddin merinci program kali ini terdiri dari 5-6 tahun untuk memperbaiki hulu dan 1-2 tahun untuk membenahi tengah dan hilir Citarum.

"Di hulu, kami harus ganti tanaman perkebunan rakyat dengan luas kurang lebih 80 hektar, asumsinya butuh 5-6 tahun. Setelah penghijauan berhasil, baru benahi bawahnya (tengah dan hilir)," katanya.

Usai penghijauan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) berencana membangun infrastruktur pendukung di tengah dan hilir Sungai Citarum.

Sosialisasi kembali digencarkan. Tak hanya tokoh masyarakat, kampus hingga aktivis lingkungan, namun juga melibatkan aparat TNI.

"Saat ini sudah mulai ada 100-200 TNI di satu titik DAS Citarum yang menginap di rumah-rumah warga. Mereka mengedukasi dan menggerakkan masyarakat untuk aksi bersih," tuturnya.


Lalu, pemerintah juga akan menagih janji bahkan menegakkan hukum bagi industri yang belum memiliki dan menjalankan IPAL. "Beberapa sudah kami berikan sanksi administrasi, beri warning. Selama tidak mengurus IPAL, tidak boleh beroperasi," kata Safri.

Dokumen terbaru soal sungai itu, 'Citarum Harum' yang diterbitkan Kodam III/Siliwangi menjelang akhir 2017, menyebutkan bahwa air di Citarum sudah tidak layak karena mengandung banyak kandungan racun. Ini terdiri dari merkuri, coliform, serta logam berat macam besi hingga timbal. 

Kertas analisis itu juga menyebutkan kadar oksigen di Citarum maupun anak sungai macam Cikijing sudah melebihi ambang batas yang ditentukan yakni skor 3. Sedangkan, masing-masing skor kadar oksigen di dua sungai tu adalah 12 dan 28,8.

"Ekosistem di Jawa Barat sangat rusak," kata dokumen tersebut. 

Rezim sudah berganti, namun persoalan Citarum sejak belasan tahun lalu relatif tak pernah berubah, jika tak ingin dikatakan lebih parah.

Abdul Malik-dari Bappenas-bisa jadi bekerja dua kali lebih keras pada hari ini untuk menyelesaikan pekerjaan raksasa yang 'mangkrak' di era pemerintahan sebelumnya. (asa)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER