Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Koordinator bidang Perekonomian
Darmin Nasution tak terima bahwa
impor pangan disebut-sebut berpotensi menjadi celah korupsi. Ia meyakini kebijakan impor yang dilakukan pemerintah sudah terukur melalui pertimbangan permintaan dan penawaran.
Tak hanya soal pangan, ia juga menyoroti seluruh impor Indonesia sekitar US$150 miliar per tahun yang seluruhnya juga dianggap sesuai dengan kebutuhan produksi dan konsumsi Indonesia. Maka itu, menurut dia, celah korupsi dari pelaksanaan impor harus dilihat dengan seksama.
"Saya ingin tanya, celah korupsinya di mana? Kalau misalkan di dalam negeri sedang kekurangan, ya tentu kita harus beli (impor) dari negara lain," papar Darmin di Kompleks Istana Kepresidenan, Selasa (23/10).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Maka itu, salah satu langkah yang dibenahi pemerintah agar tidak salah mengambil kebijakan impor adalah melalui perbaikan data.
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data produksi
beras dengan angka 32,42 juta ton dan konsumsi 29,57 juta ton. Angka ini mengoreksi data Kementerian Pertanian yang melaporkan produksi beras bisa mencapai 46,5 juta ton dan konsumsi 33,89 juta ton.
Namun sampai sejauh ini, pemerintah masih belum akan melakukan pembenahan data bahan pangan di luar komoditas beras.
"Karena yang paling krusial itu beras, bayangkan sudah 22 tahun lamanya data itu tidak benar," papar dia.
Sebelumnya, Mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli melaporkan dugaan korupsi dalam kebijakan impor pangan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Laporan dilakukan dengan membawa hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Rizal menduga ada malpraktik dari ukuran impor bahan pangan yang kerap dilebihkan jauh dari kebutuhannya. Ia mencontohkan dari impor garam yang dilebihkan 1,5 juta ton, beras 1 juta ton, dan gula 1,2 juta ton.
Menurut dia, merupakan hal yang wajar ketika ada impor untuk bahan pangan yang mengalami kelangkaan. Namun dalam kasus ini, Rizal menganggapnya sebagai impor artifisial.
"Rekayasa kelangkaan sehingga ada alasan untuk impor lebih banyak lagi yang merugikan petani dan konsumen," ujar dia.
(glh/lav)