Jakarta, CNN Indonesia -- Direktur Asosiasi Pengusaha Indonesia (
Apindo) Research Institue Agung Pambudhi menilai penetapan
Upah Minimum Provinsi (
UMP) harus diikuti dengan daya dukung ekonomi Indonesia. Menurutnya, UMP yang saat ini membuat Indonesia menjadi tidak kompetitif dibanding negara lain dan cukup memberatkan dunia usaha.
Menurut Agung, perusahaan yang sudah stabil dan kuat perekonomiannya tidak dapat terpaku pada UMP yang ada. "Upah minimum kita sudah kuat, sehingga tidak kompetitif saat ini. Perlu diketahui, dunia usaha akan dengan sendirinya melebihi biaya dari upah minimum ketika kontribusi kompetitif di perusahaan itu sudah melebihi dari apa yang diharapkan," kata Agung Pambudhi di Jakarta, Rabu (24/10).
"Naik 8,03 persen pun sebenarnya di dunia usaha khususnya padat karya teriak minta ampun," tambahnya.
Oleh sebab itu, dirinya menilai permintaan kenaikan UMP yang diajukan sejumlah pihak, seperti Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) yang minta naik 25 persen, sangat tidak masuk akal. Sebagai informasi, 2019 pemerintah sudah menetapkan kenaikan UMP sebesar 8,03 persen. Prosentase tersebut akan dihitung dari UMP yang berlaku di masing-masing daerah saat ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Artinya, jika dilihat secara kumulatif, setiap daerah akan memiliki UMP yang berbeda sesuai dengan keputusan kemampuan daerah itu sendiri. Agung pun menjelaskan, terdapat beberapa program pemerintah yang dinilai membantu dan dapat dinikmati oleh buruh secara langsung. Dirinya mencontohkan program kesehatan dan pendidikan yang sudah ditanggung oleh pemerintah.
Program tersebut cukup mengurangi pengeluaran pekerja. Senada dengan hal itu, Anggota Komisi IX DPR RI Irma Suryani Chaniago menilai kebijakan yang telah ditetapkan ini dapat menjaga stabilitas daya saing Indonesia di mata negara asing.
Menurutnya, jika persentase kenaikan UMP tidak sesuai dengan peraturan yang ada, dapat mempengaruhi minat investasi negara lain di Indonesia. "Kalau kami ngotot minta kenaikan upah tinggi, itu menjadi kontra produktif. Sehingga investor nanti lari, lalu juga bisa terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran karena perusahaan bangkrut tidak bisa membayar buruhnya," imbuh Irma.
(mjs/agt)