Jakarta, CNN Indonesia --
Kementerian Ketenagakerjaan mencatat tingkat penggunaan tenaga kerja difabel sampai saat ini masih rendah. Menteri Ketenagakerjaan
Hanif Dhakiri mengatakan data yang ia miliki dari jumlah 230 ribu tenaga kerja di 440 perusahaan, jumlah tenaga kerja difabel baru mencapai 1,2 persen.
Artinya, jumlah tenaga kerja disabel di 440 perusahaan tersebut baru mencapai 2.760 orang. "Artinya masih jauh dari harapan," katanya Selasa (30/10).
Hanif menyadari pemerintah masih perlu melakukan sosialisasi kepada perusahaan dan tenaga kerja difabel. Sebab, ia masih banyak menemukan manajemen perusahaan yang kebingungan mencari penyandang difabel yang memiliki kompetensi sesuai dengan yang dibutuhkan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini pekerjaan kami bagaimana bisa mempertemukan, bagaimana job matching-nya. Jadi kalau perusahaan butuh kompetensi tertentu tuh di mana harus mencarinya," papar Hanif.
Untuk saat ini, pemerintah sudah menyediakan fasilitas "
help desk" untuk mempertemukan antara perusahaan dengan penyandang disabilitas. Fasilitas itu tersedia secara
offline dan
online.
Tak hanya itu, lanjut Hanif, pemerintah juga membuka 19 Balai Latihan Kerja (BLK) yang di bawahi langsung oleh Kemenaker. Ia menegaskan seluruh penyandang disabilitas bisa mengembangkan kompetensinya lewat BLK.
"BLK sekarang tidak ada persyaratan aneh-aneh, dulu kan ada persyaratan batas umur. Kalau sekarang siapa saja yang butuh tidak peduli umur itu bisa dapat pelatihan," jelas Hanif.
Lebih lanjut Hanif menuturkan pemerintah berhak memberikan hukuman bagi perusahaan yang tidak memberikan kesempatan kepada penyandang disabilitas untuk menjadi pegawai di perusahaan tersebut.
Sebab, berdasarkan Undang-Undang (UU) nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, perusahaan swasta wajib menyerap penyandang disabilitas sebanyak satu persen dari total karyawan dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) sebanyak dua persen. Namun, Hanif mengklaim pemerintah belum pernah memberikan hukuman kepada perusahaan yang melanggar aturan itu.
"Sejauh ini lebih kepada pembinaan ya, karena kalau lihat kasusnya kan seringkali mereka (perusahaan) tidak tahu dan kesulitan untuk mencari penyandang disabilitas di mana begitu," pungkas Hanif.
(aud/agt)