Konsumsi Melemah, Industri Mamin Tetap Kaji Naikkan Harga

CNN Indonesia
Rabu, 07 Nov 2018 08:54 WIB
Pelaku usaha makanan dan minuman tetap mempertimbangkan untuk menaikkan harga produk, meskipun pertumbuhan konsumsi rumah tangga melambat.
Ilustrasi makanan kemasan. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono).
Jakarta, CNN Indonesia -- Pelaku usaha makanan dan minuman tetap mempertimbangkan untuk menaikkan harga produk, meskipun pertumbuhan konsumsi rumah tangga melambat pada kuartal III 2018 sebesar 5,01 persen dibanding kuartal sebelumnya 5,14 persen.

Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (Gapmmi) Adhi S. Lukman menuturkan industri akan mengkaji ulang harga makanan dan minuman pada akhir tahun. Sebelumnya Adhi bilang mereka siap mengerek harga hingga 5 persen pada awal 2019.

"Bila memang sudah tidak memungkinkan bertahan, tentu keputusan akhir naik harga," kata Adhi kepada CNNIndonesia.com.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


Kondisi itu dipicu merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, sehingga menambah beban lantaran sebagian bahan baku industri makanan dan minuman masih impor. Pada perdagangan pasar spot pagi ini, Selasa (6/11), nilai tukar Rupiah berada di posisi Rp14.930 per dolar AS.

Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Tutum Rahanta membenarkan pernyataan Adhi. Tutum menyatakan industri ritel berpatokan pada harga di hulu, yaitu produsen makanan dan minuman. Jika mereka mulai menaikkan harga, maka ritel mengikuti. Di sisi lain, perusahaan ritel juga memiliki perhitungan tetap untuk biaya operasional.

"Saya kira tidak ada yang tidak menyesuaikan (harga), itu tidak mungkin. Harga pasti akan ada penyesuaian, dari pelemahan nilai tukar ini," ujarnya.

Tutum melanjutkan pelaku usaha harus menerima berbagai konsekuensi dari kebijakan penaikan harga, di tengah pelemahan konsumsi masyarakat. Sebab, mereka harus mempertahankan biaya operasional perusahaan jika tidak ingin merugi.


"Tapi kami jual produk dengan harga tinggi kami pun tidak suka, karena orang yang beli akan turun," tambah Tutum.

Namun demikian, depresiasi rupiah belum memberi dampak signifikan pada industri minuman ringan. Alasannya, industri minuman ringan tidak memiliki ketergantungan penuh pada produk impor.

Sekretaris Jendreal Asosiasi Industri Minuman Ringan (Asrim) Suroso Natakusuma menjelaskan kebutuhan impor pada minuman ringan adalah untuk kemasan dan gula rafinasi.

Terkait kemasan, kebutuhan impor hanya 40 persen sedangkan mayoritas yakni 60 persen menggunakan produk lokal. Untuk gula rafinasi pelaku usaha memiliki kontrak jangka panjang degan importir, sehingga harga saat ini masih mengikuti kontrak lama.


"Jadi secara rata-rata keseluruhan (pelemahan rupiah) belum terlalu memberatkan industri minuman ringan," ungkap Suroso.

Oleh karena itu, Suroso bilang pelaku industri minuman ringan belum mempertimbangkan kenaikan harga. Mereka tengah menunggu momentum Natal dan tahun baru yang diprediksi bakal menaikkan omzet penjualan hingga dua kali lipat.

"Apalagi produk kami sangat elastis, begitu harga naik 10 persen, maka konsumsi bisa turun 12-13 persen, itu jadi pertimbangan," terangnya.


Kendati demikian, Suroso mengakui adanya pelambatan pertumbuhan penjualan pada 3-4 tahun terakhir. Kondisi itu dipengaruhi pelemahan daya beli pada beberapa tahun terakhir.

"Sebelumnya kami pernah tumbuh dua digit, 11-12 persen sekarang 5-6 persen saja sudah baik," kata Suroso. (ulf/lav)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER