Jakarta, CNN Indonesia -- Sayap PT
Merpati Nusantara Airlines (Merpati) mulai mengepak pada 1962 ke wilayah Timur
Indonesia, termasuk melewati langit
Timor Leste yang kini telah terlepas dari NKRI.
Berbeda dengan PT
Garuda Indonesia (Persero) Tbk yang berekspansi ke berbagai penjuru, perusahaan pelat merah satu ini lebih berfokus memenuhi kebutuhan akses transportasi udara di wilayah terpencil seperti Papua, Maluku, Sulawesi, dan Nusa Tenggara.
Meski mencerahkan langit Timur Indonesia, kinerja keuangan Merpati justru terbebani awan mendung karena tekanan finansial.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut catatan Kementerian BUMN, total aset Merpati hanya tercatat Rp1,21 triliun. Bahkan, ekuitas berada pada minus Rp9,51 triliun, dan mengalami kerugian hingga Rp737 miliar.
Meski bisnis penerbangan sudah terhenti, dua anak usaha masih beroperasi dan menghasilkan cuan. Keduanya ialah PT Merpati Maintenance Facility (MMF) bidang perawatan pesawat, dan PT Merpati Training Center (MTC) di bidang pendidikan pilot dan pramugari.
Dahlan Iskan, Menteri BUMN saat itu menyampaikan pemulihan maskapai memerlukan dana mencapai Rp15 triliun untuk memenuhi pembayaran upah karyawan dan membayar utang.
Kala itu, Dahkan menilai rencana untuk menghidupkan kembali maskapai sudah sulit dilakukan karena restrukturisasi aset tidak menguntungkan.
Pemerintah akhirnya memunculkan wacana menyelesaikan lelang privatisasi untuk Merpati. Tiga calon investor menyatakan minat untuk menanamkan modal. Saat itu, pemerintah menawatkan sebanyak 49 persen saham di perusahaan pelat merah tersebut.
Menurut laporan Centre for Aviation (CAPA), Merpati mengalami penghentian operasi sejak 1 Februari 2014 karena beban utang kepada sejumlah kreditur mencapai Rp10,72 triliun. Tak hanya itu, perusaahaan juga masih memiliki tunggakan pesangon untuk mantan karyawan sebesar Rp365 miliar. Persoalan finansial itu bahkan sampai masuk ke ranah hukum.
Berdasarkan data Sistem Informasi Penelusuran Perkara Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Surabaya, Merpati digugat dalam kasus perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pada Maret 2012.
Dalam perkembangannya, Merpati balik menggugat dalam kasus yang sama pada November 2016. Selanjutnya, Merpati kembali menjadi tergugat dalam kasus yang sama pada Desember 2016 dan Maret 2017. Namun, Permohonan yang diajukan ditolak oleh majelis hakim.
Merpati menghadapi protes sekitar 1.000 karyawan yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Meski akhirnya 98 persen karyawan perusahaan menerima pesangon.
Tak hanya urusan PHK, Merpati juga digugat dalam kasus permohonan pernyataan pailit pada 10 Februari 2016.
Beberapa hari kemudian, tepatnya 17 Februari 2016, Merpati kembali digugat dalam kasus Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) oleh PT Prathita Titian Nusantara. Gugatan itu berlanjut hingga November dan Desember 2017.
Dengan penggugat yang berbeda, pada Juni 2017 dan 15 Januari 2018, Merpati digugat oleh PT Parewa Katering, perusahaan jasa penyedia makanan yang memasok kebutuhan penumpang maskapai.
Akhirnya, Pengadilan Negeri mengabulkan permohonan PKPU dan memerintahkan tim pengurus memanggil Merpati dan kreditur untuk menyusun proposal perdamaian penyelesaian utang.
Pergantian pemerintahan membuat kebijakan eksekutor ikut berubah. Awal 2018, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mensinyalkan Merpati akan direstrukturisasi, dan masuk dalam PT Perusahaan Pengelola Aset (Persero). PPA merupakan BUMN yang ditunjuk pemerintah untuk melakukan restrukturisasi atau revitalisasi.
Tak berselang lama, Merpati disebut-sebut memperoleh gelontoran dana segar senilai Rp6,4 triliun dari investor domestik PT Intra Asia Corpora. Dari berbagai sumber diketahui, investor merupakan grup bisnis yang memiliki berbagai divisi usaha, antara lain sektor jasa keuangan, perjalanan, kuriri, kargo, dan penerbangan.
Namun, jalan Merpati untuk 'lepas landas' tak akan semudah membalikkan telapak tangan. Sebagai perusahaan milik negara, Merpati masih perlu mengantongi persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan memperoleh izin penerbangan dari Kementerian Perhubungan.
(lav/bir)